DAFTAR ISI

Senin, 16 Januari 2012

PEMIMPIN INKLUSIF DAN TRANSFORMATIF*.


OLEH: SUDIRMAN, S.Pd.I*
1.      DEFINISI PEMIMPIN
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggung jawabannya (Muhamad SAW)”
Selama ini banyak orang yang keliru dalam memahami arti kepemimpinan. Pada umumnya orang melihat pemimpin adalah sebuah kedudukan atau posisi semata. Akibatnya tidak sedikit orang yang berambisi menjadi seorang pemimpin, meskipun dengan cara-cara yang tidak wajar. Mulai dari membeli kedudukan, menjilat atasan, menjatuhkan saingan atau cara-cara lainnya yang tidak etis yang akhirnya berujung pada lahirnya pemimpin-pemimpin yang haus kekuasaan.
Banyak orang yang mengharapkan dirinya menjadi pemimpin, namun mereka sering kali tidak menyadari bahwa sebenarnya  mereka adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Saat seorang diangkat menjadi ketua kelas maka ia adalah seorang pemimpin, guru juga seorang pemimpin, seorang ibu juga menjadi pemimpin. Setiap orang menjadi pemimpin dalam lingkungannya, bahkan manusia seorang diripun adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Mengapa demikian? Hal ini didasarkan  pada pemahaman bahwa esensi utama dari sebuah kepemimpinan adalah PENGARUH. Hery Muhamad (2008) menyatakan bahwa kepemimpinan itu bisa terjadi kapan saja dan pada siapa saja tanpa harus melewati jalur-jalur formal. Ketika seorang telah mampu mempengaruhi atau memberi ‘warna’ kepada orang lain maka saat itulah ia telah menjadi seorang pemimpin. Itulah sebabnya kepemimpinan juga diartikan sebagai seni mempengaruhi dan memimpin orang lain.
Fedrick Agung, raja Prusia yang terkenal suatu hari berjalan-jalan dipinggiran kota Berlin. Tiba-tiba ia bertemu dengan seorang laki-laki tua yang sedang berjalan kearahnya lalu ia bertanya “Siapa anda? Tanya Fedrick. “Saya raja!” Jawab laki-laki tua tersebut. Raja Fredrick pun tertawa sambil berkata: ”Raja?! Atas kerajaan mana kamu memerintah!?” Atas diri saya sendiri!” Jawab laki-laki tua tersebut dengan penuh percaya diri.
Ketika meneliti tentang kehidupan ’orang-orang besar’ yang mendefinisikan sebuah kesuksesan sebagai keberhasilan yang mereka rebut atas usaha mereka sendiri, Harry S truman mengatakan bahwa: Disiplin diri pribadi  (diri sendiri) adalah suatu hal yang terlebih dahulu. Pemimpin tidak akan berhasil memimpin orang lain bila ia belum berhasil memimpin diri mereka sendiri. Pemimpin harus mampu dan berhasil menjelajahi dirinya sendiri, mengenal secara mendalam siapa dirinya yang  sebenarnya. Sebelum ia memimpin ke luar, ia harus terlebih dahulu memimpin ke dalam”.
2. PEMIMPIN INKLUSIF
”Kepemimpinan itu bukan pemanfaatan, tetapi ia adalah pelayanan dan pengorbanan” (Hasan Al-Banna)
Jika kita membuka Kamus Bahasa Indonesia yang mendefinisikan tentang kata ’inklusif’ kesemuanya mengandung suatu pengertian bahwa inklusif adalah suatu term yang mengandung arti terbuka atau keterbukaan. Lawan dari inklusif adalah ekslusif yang berarti tertutup. Jika hal ini dihubungkan dengan kepemimpinan maka dapat dipahami secara sederhana bahwa pemimpin inklusif adalah pemimpin yang mempunyai sifat keterbukaan. Sehingga hal ini juga berarti bahwa kepemimpinan inklusif adalah kepemimpinan yang bersifat fleksibel, luwes dan mampu mengakomodir berbagai macam perbedaan dan tentunya harus mampu menyerap seluruh aspirasi yang ada.
Ummar Bin Khattab mungkin bisa menjadi salah satu contoh pemimpin inklusif. Beliau mempunyai kebiasaan menarik ketika menyerap aspirasi rakyatnya, ia berjalan di sepanjang malam, menelusuri lorong-lorong sempit, menghirup nuansa kehidupan rakyatnya. Ia tidak segan berdialog langsung dengan rakyatnya di depan rumah atau dipinggir jalan guna mencari masukan tentang apa yang mesti ia lakukan untuk kesejahteraan mereka. Bahkan Ummar bin Khattab bukan saja sekedar pemimpin yang terbuka (inklusif), tetapi ia seorang pemimpin yang merakyat, mencintai rakyat dan melebur bersama rakyatnya. Beliau kerap berpatroli di malam hari untuk mengetahui langsung keadaan rakyatnya dan tidak hanya puas dengan laporan bawahannya. Bukan berarti ada ketidak percayaan kepada bawahannya, namun begitulah Umar bin Khattab yang sangat berhati-hati dalam memegang kepercayaan rakyatnya. Hingga suatu ketika ia pernah berkata :Seandainya ada seekor unta yang terperosok kakinya di jalan yang berlubang, sungguh akulah yang  bertanggung jawab!.Ia juga pernah berkata:”Kalau Umar bengkok, luruskanlah !.
3. PEMIMPIN TRANSFORMATIF
”Perubahan (Transformasi) dalam sebuah kepemimpinan itu tidak akan terjadi tanpa keterbukaan (Inklusifitas)”.
            Dalam kamus Bahasa Indonesia oleh Partanto (2004), transformatif berarti berubah atau tidak tetap. Jika ini dihubungkan dengan makna kepemimpinan, maka Pemimpin Transformatif adalah kepemimpinan yang senantiasa memimpin perjuangan agar selalu terjadinya perubahan-perubahan mendasar yang tentunya bersifat positif. Lawan dari kepemimpinan Transformatif adalah kepemimpinan yang Stagnan, bersifat tetap  atau tidak terdapat perubahan yang berarti di dalamnya. Namun lebih lanjut sebenarnya jika kita lebih jeli melihat, sebenarnya antara kepemimpinan Inklusif dan Kepemimpinan Transformatif mempunyai hubungan yang sangat erat. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Di satu sisi Kepemimpinan Inklusif bersifat terbuka, luwes dan fleksibel, sehingga hal ini memungkinkan untuk terus terjadinya perubahan-perubahan (transformasi) pada sisi yang lain. Artinya kepemimpinan Transformatif merupakan ”buah” dari Kepemimpinan Inklusif. Dengan kata lain, perubahan (Transpormasi) dalam sebuah kepemimpinan itu tidak akan terjadi tanpa adanya keterbukaan (Inklusifitas).
4. URGENSI KEPEMIMPINAN INKLUSIF DAN TRANSFORMATIF
”Keterbukaan dan perubahan adalah suatu keniscayaan”
            Masyarakat bahkan negara manapun di dunia ini pasti membutuhkan Kepemimpinan inklusif dan transformatif. Hal ini menjadi sebuah keniscayaan dan tidak terkecuali bagi bangsa Indonesia karena :
1.      Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak ragam ras, suku, budaya dan agama. Sehingga dengan tingkat hiterogenitas yang tinggi tersebut adalah suatu keniscayaan dibutuhkannya kepemimpinan yang Inklusif - yang mampu mengakomodir dan ”mengkompromikan” berbagai latar belakang yang ada.
2.      Perubahan yang begitu cepat dan persaingan dunia yang sangat ketat. Mulai dari pola fikir, budaya dan segenap peradaban manusia dalam sejarahnya tidak pernah bersifat stagnan. Ia terus mengalami perubahan dengan begitu cepat. Hal ini ditunjang lagi dengan tingkat persaingan dunia yang sangat ketat. Untuk menanggapi hal ini adalah suatu hal yang mustahil jika kita tetap bersifat tertutup (Eksklusif) dan Stagnan. Sejarah membuktikan bahwa hanya kepemimpinan yang terbuka dan terus melakukan perubahanlah yang tetap eksis (bertahan). Sedang ekslusifitas (ketertutupan) dan ke-stagnan-an hanya akan berujung pada kehancuran. Karena keterbukaan dan perubahan adalah suatu hal yang niscaya. Bukankah Mesir, Libya, Indonesia dan berbagai negara lain di belahan dunia saat ini sedang bergolak? Mereka mempunyai tuntutan yang sama : KETEBUKAAN DAN PERUBAHAN.
3.      Ledakan penduduk yang sangat dahsyat. Hal ini tentu saja akan seiring dengan tuntutan pemenuhan hajat hidup orang banyak yang bersifat kompleks. Sehingga efektifitas, efisiensi dan akselerasi pelayanan publik harus terus diselaraskan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.




5. CIRI-CIRI PEMIMPIN INKLUSIF DAN TRANSFORMATIF.
“Pemimpin yang inklusif dan transformatif lebih memposisikan diri mereka sebagai mentor yang bersedia menampung aspirasi para bawahannya”
Dalam pemaparan di atas paling tidak kita dapat mengetahui beberapa ciri pemimpin inklusif dan Transformatif yang antara lain bersifat terbuka dan selalu melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Namun demikian, tentang ciri pemimpin Inklusif dan Transformatif secara rinci dikemukakan oleh Rama pratama (2008) yang mengungkapkan bahwa dalam beberapa literatur, kepemimpinan inklusif dan transformatif didefinisikan sebagai kepemimpinan dimana para pemimpin menggunakan kharisma mereka untuk melakukan transformasi dan merevitalisasi organisasinya (Gerald Greenberg and Robert A Baron, Behavior in Organization, Ohio State University, 2003). Akan tetapi, kepemimpinan inklusif dan transformatif berbeda dengan kepemimpinan kharismatik. Soekarno dan Soeharto boleh jadi memiliki kharisma yang luar biasa sehingga dapat mempengaruhi pengikut-pengikutnya untuk melakukan segala sesuatu yang mereka inginkan. Di pihak lain, para pemimpin yang inklusif dan transformatif lebih mementingkan revitalisasi para pengikut dan organisasinya secara menyeluruh ketimbang memberikan instruksi-intruksi yang bersifat top down.
Pemimpin yang inklusif dan transformatif lebih memposisikan diri mereka sebagai mentor yang bersedia menampung aspirasi para bawahannya. Pemimpin yang inklusif dan transformatif lebih menekankan pada bagaimana merevitalisasi institusinya, baik dalam level organisasi maupun negara. Secara lebih detil kepemimpinan inklusif dan transformatif memiliki ciri-ciri berikut:
Pertama, seperti yang disebutkan di atas, mereka memiliki kharisma, yang dapat menghadirkan sebuah visi yang kuat dan memiliki kepekaan terhadap misi kelembagaannya. Ini berarti, setiap gerak dan aktivitasnya senantiasa disesuaikan dengan visi dan misi organisasinya. Inilah yang dijadikan sebagai acuan untuk tetap konsisten dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakannya.
Kedua, mereka senantiasa menghadirkan stimulasi intelektual. Artinya, mereka selalu membantu dan mendorong para pengikutnya untuk mengenali ragam persoalan dan cara-cara untuk memecahkannya. Ini berarti, para pengikutnya diberikan kesempatan untuk berpartisipasi mengidentifikasi persoalan dan secara bersama-sama mencari cara penyelesaian yang terbaik. Dalam karakteristik ini, pemimpin inklusif dan transformatif lebih banyak mendengar ketimbang memberikan instruksi.
Ketiga, pemimpin yang inklusif dan transformatif memiliki perhatian dan kepedulian terhadap setiap individu pengikutnya. Mereka memberikan dorongan, perhatian, dukungan kepada pengikutnya untuk melakukan hal yang terbaik bagi dirinya sendiri dan komunitasnya.
Keempat, pemimpin inklusif dan transformatif senantiasa memberikan motivasi yang memberikan inspirasi bagi pengikutnya dengan cara melakukan komunikasi secara efektif sehingga hubungan dalam kepemimpinan tidak hanya sebatas hubungan atasan-bawahan, tetapi menjadi hubungan kemitraaan yang lebih bersifat fleksibel sehingga hal ini akan memperkuat sence of belonging dalam kepemimpinan tersebut.
Kelima, mereka berupaya meningkatkan kapasitas para pengikutnya agar bisa mandiri, tidak selamanya tergantung pada sang pemimpin. Ini berarti, pemimpin inklusif dan transformatif menyadari pentingnya proses kaderisasi dalam transformasi (kelanjutan)  kepemimpinan berikutnya. Ini berbeda dengan model kepemimpinan kharismatik yang memposisikan para pengikutnya tetap lemah dan tergantung pada dirinya tanpa memikirkan peningkatan kapasitas dari para pengikutnya.
Keenam, para pemimpin inklusif dan transformatif lebih banyak memberikan contoh ketimbang banyak berbicara. Artinya, Ada sisi keteladanan yang dihadirkan kepada para pengikutnya dengan lebih banyak bekerja ketimbang banyak berpidato yang berapi-api tanpa disertai tindakan yang konkrit.
6.  MENUJU PEMIMPIN INKLUSIF DAN TRANSFORMATIF
“Ada orang yang memimpin sekian lama, namun ia cepat dilupakan oleh masa. Namun ada pula yang memimpin dengan waktu tertentu tetapi ia mampu memberi pengaruh besar sepanjang sejarah”
Dalam bukunya Emotional Spiritual Quotient (2006), Ari Ginanjar Agustian secara menarik menjelaskan tahapan atau tangga-tangga menuju kepemimpinan yang ‘abadi’ yang mungkin dapat dijadikan sebagai acuan dalam mewujudkan kepemimpinan yang inklusif dan transformatif. Menurut Ary Ginanjar bahwa ada lima tangga kepemimpinan yang harus dilewati seseorang jika ia ingin menjadi pemimpin yang baik, jika ia mampu berada disemua level atau tangga kepemimpinan tersebut, ia tidak hanya akan menjadi seorang pemimpin yang dicintai, dipercaya, diikuti, namun ia juga akan menjadi pemimpin yang memiliki pengaruh besar yang sangat kuat dalam jangka panjang. Tangga kepemimpinan tersebut adalah:
1.      Pemimpin yang dicintai: Renungkanlah potongan kalimat berikut “ Anda bisa mencintai seseorang tanpa harus memimpinnya, tetapi Anda tidak bisa memimpin orang lain tanpa mencintainya” pernyataan ini melukiskan tentang seorang pemimpin yang harus mampu membimbing  dan mengayomi orang yang dipimpinnya. Seorang pemimpin tidak hanya menunujukan prestasi kerjanya, namun harus dicintai oleh pengikutnya. Pertanyaannya adalah  bagaimana menjadi pemimpin yang dicintai? Jawabannya adalah “Cintailah! Maka anda akan dicintai“ hal ini sesuai dengan hadist Nabi “Barang siapa yang mengasihi hamba Allah di bumi, maka ia akan dikasihi oleh zat yang di langit”
2.      Pemimpin yang dipercaya: Ciri-ciri dari seorang pemimpin yang dipercaya ialah bahwa ia berpegang teguh pada apa yang dia katakan, pemimipin yang dipercaya adalah pemimpin yang tidak melakukan kebohongan. Oleh karena itu bila ada pertanyaan “ Bagaimana menjadi seorang yang dipercaya? jawabannya adalah kejujuran. Alasan sederhananya adalah: tiada kepercayaan tanpa kejujuran.
3.      Pemimipin pembimbing: Seorang pemimpin tidak hanya dituntut orang-orang cerdas dan jujur, tetapi juga harus mampu membimbing orang yang dipimpinnya. Oleh karena itu salah satu bukti keberhasilan seorang pemimipin dapat diketahui setelah berakhir masa kepemimpinanya. Apabila pemerintahan yang ditinggalkannya terjadi guncangan yang hebat setelah ia tidak ada, maka ia bukanlah tipe pemimimpin pembimbing.
4.      Pemimimpin yang berkeperibadian: Salah satu pemimpin yang berkeperibadian kuat adalah Ummar Bin Khatab. Ia selalu melakukan kontrol terhadap orang dipimpinnya dan itu telah masyhur dalam kisah ketika Ummar Bin Khatab rela memikul sekarung gandum sendiri untuk orang tua yang kelaparan.
5.      Pemimpin abadi: Ada orang yang memimpin sekian lama, namun ia cepat dilupakan oleh masa. Namun ada pula pemimpin yang memimpin dengan waktu tertentu tetapi ia mampu memberi pengaruh besar sepanjang sejarah.

Lebih lanjut Ari Ginanjar mengatakan bahwa tingkat keberhasilan seorang pemimpin sangat ditentukan pada seberapa tinggi tingkat kepemimpinannya. Tingkat kepemimpinan seorang juga menentukan seberapa besar dan seberapa jauh tingkat pengaruhnya. Begitu banyak pemimpin-pemimpin popular kaliber dunia yang dilahirkan di muka bumi ini, tetapi pengaruhnya hanya beberapa waktu saja. Ia hilang ditelan zaman. Sebut saja Winston Curchill, Leonid Breznez, Jendral Mc Artur, Ronald Reagan, Kaisar Hirohito, Yosef Broz tito atau Che Guevara. Semuanya hanya tinggal kenangan, pengaruhnya boleh dibilang hampir hilang, atau hanya sedikit tersisa. Tetapi pemimpin-pemimpin besar yang diturunkan Tuhan Seperti Daud, as, Musa.as, Ibrahim.as, Isa.as dan Muhammad SAW pengaruhnya terasa begitu kuat, hingga detik ini tidak lekang oleh zaman. Mereka bahkan semakin kuat pengaruhnya, meski mereka sudah tidak berada lagi di muka bumi ini. Inilah yang disebut pemimpin ‘abadi’, pemimpin yang cara memimpinnya sangat sesuai dengan hati nurani, bisa diterima dengan akal sehat ataupun logika sehingga Michael Hart (1978) seorang pakar dan peneliti sejarah dan penulis buku 100 tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah - menempatkan Muhammad SAW sebagai seorang pemimpin pada urutan pertama dalam hal kekuatan dan kebesaran pengaruhnya di dunia. Bahkan ia mengatakan :”Muhammad bukan semata pemimpin agama, tetapi juga pemimpin dunia. Fakta menunjukkan, selaku pendorong terhadap gerak pembebasan yang dilakukan bangsa Arab, pengaruh kepemimpinan politiknya berada dalam posisi terdepan sepanjang sejarah manusia”.

7. RENUNGAN BAGI PEMIMPIN
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.. “(al-ahzab:21).
            Menjadi pemimpin inklusif berarti menjadi seorang yang terbuka dan mau menghimpun kebaikan dari mana saja ia berada untuk dijadikan ‘asupan energi’ yang kemudian digunakan sebagai ‘kekuatan’ dalam melakukan perubahan (transformasi).
‘Tuntutlah ilmu meskipun sampai ke negeri Cina...... “(Muhammad SAW)
“Ambillah hikmah/ pelajaran dari mana saja ia berada...” (Muhammad SAW)
Berikut adalah empat karakter yang merupakan hikmah/pelajaran yang wajib dimiliki setiap pemimpin yang diambil dari empat sifat para Nabi dan Rasul dan tentunya jika sifat tersebut ada pada diri seseorang maka ia telah mewarisi sifat pemimpin ‘abadi: PARA NABI DAN RASUL. Sifat tersebut adalah: Siddiq, Amanah, Tabligh dan Fathonah . Penulis mengemasnya dalam bentuk sebuah renungan.
PERTAMA: SIDDIQ

            “Kejujuran adalah fitrah dasar yang ditanamkan Tuhan ke dalam diri setiap manusia, seseorang mungkin saja mendustai orang lain. Tetapi ia tidak bisa mendustai dirinya sendiri”

Secara bahasa siddiq artinya jujur. Jujur ialah berbicara apa adanya, sesuai fakta, tidak dikurangi atau dilebih-lebihkan. Dengan kejujuran inilah Rasulullah SAW menjalani hidup dan memulai dakwahnya, hingga jauh sebelum diangkat menjadi rasul beliau telah dipanggil dengan gelar “al-amin”  orang yang terpercaya karena kejujurannya.
Bahkan Abu jahal-seorang gembong musyrikin-pun mengakui kejujuran Rasulullah SAW. Ia pernah berkata “Kalau seandainya ada seseorang yang mengatakan bahwa ada seekor kuda yang melompat dan menerjang dari balik gunung/bukit ini, tetapi jika yang mengatakannya adalah seorang Muhammad, maka aku pasti percaya!”
Dalam menjalani hidup ini sudah sepantasnya kita berlaku jujur. Namun ironisnya sikap jujur ini kian hari semakin menipis dikikis oleh beragam kepentingan yang membuat orang harus berbohong. Banyak orang berbohong untuk menutupi kesalahannya. Tidak sedikit orang yang takut berterusterang saat ditanya tentang sesuatu. Ada yang tidak mau beterusterang saat diminta penguasa, ada yang enggan mengungkapkan kebenaran karena alasan politis, meskipun akan mengorbankan banyak orang dsb.. Padahal kejujuran dan kebohongan itu dapat menentukan kedudukan kita diakhirat kelak: BAHAGIA ATAU SENGSARA. Rasulullah bersabda “Sesungguhnya kejujuran itu menunjukkah kebaikan. Kebaikan itu menghantarkan ke surga. Seseorang yang benar-benar telah jujur hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur…. Sesungguhnya dusta itu menunjukkan kezoliman. Kezoliman itu mengantarkan ke neraka. Seseorang yang benar-benar telah berkata bohong, maka ia dicatat disisi Allah sebagai pendusta (HR. Bukhari-Muslim)
Jauh dari itu sebenarnya kejujuran merupakan fitrah dasar  kita sebagai manusia. Lawan dari jujur adalah dusta. Tidak ada satupun kebohongan yang meluncur dari mulut ini, kecuali hati kita pasti membantahnya. Seorang pencuri ketika diinterogasi, mulutnya berdusta, namun hatinya pasti membantahnya….
Kita mungkin saja mendustai 1 orang, 2 orang, 10 orang 100 orang atau semua orang bisa kita dustai. Namun satu hal yang tidak mungkin kita dustai adalah diri kita sendiri…. Mengapa demikian? Sebab Jujur sebenarnya adalah fitrah dasar yang ditanamkan Allah dan melekat pada diri setiap manusia. Tidak ada orang yang mampu melawan firtah itu  (laa tabdiila likalimatillah: tidak ada perubahan pada fitrah Allah). Oleh karena itu siapapun kita, marilah kita berlaku Jujur agar tidak menzalimi diri sendiri dan orang lain...
KEDUA: AMANAH

“Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran yang bijaksana, tetapi setelah turun dari mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai”
( Muhammad SAW)

Amanah artinya dapat dipercaya. Sebenarnya amanah adalah buah dari kejujuran. Sederhananya adalah, barang siapa yang Jujur maka ia layak dipercaya.Dan sebaliknya barang siapa yang tidak Jujur maka ia tidak layak untuk dipercaya. Memang ada perbedaan antara Jujur dan amanah. Seseorang yang dititipkan sesuatu boleh saja mengaku jujur ketika ia mengatakan dirinya mendapat titipan, akan tetapi ia belum bisa disebut amanah jika titipan itu ia gunakan...  Seseorang yang diberi jabatan boleh saja berkata Jujur bahwa ia seorang pejabat. Namun ia Belum bisa dikatakan amanah jika menyalahgunakan jabatannya. Begitulah seterusnya…. Seorang hakim tidak dikatakan amanah bila putusannya atas dasar kepentingan. Seorang bendahara yang memalsukan laporan, petugas yang kongkalikong, peneliti yang tidak objektif, istri yang tidak mendidik anak-anaknya, suami yang malas bekerja, semuanya belum dikatakan amanah. Atau siapapun dan apapun namanya.. Seorang anak, guru, karyawan, penghulu, camat, lurah bupati, angora dewan, gubernur, mentri, presiden, semuanya beulum dikatakan amanah jika melakukan penyimpangan dan menelantarkan  tugas dan tanggung jawabnya.
Ada sebuah kisah teladan dari Khalifah Umar bin Abdul Azis, suatu malam beliau dikejutkan dengan kedatangan seorang tamu. Namun sebelum tamu tersebut dipersilahkan masuk, beliau terlebih dahulu bertanya: untuk keperluan apa Anda datang? Untuk keperluan negara atau peribadi? Jika Anda datang untuk keperluan negara, maka lampu ruangan ini akan tetap kunyalakan. Namun jika kedatangan Anda untuk keperluan peribadi, maka lampu ini akan kumatikan...”
Kisah lainnya adalah kisah keteladanan seorang yang ditugaskan untuk menjaga kebun anggur oleh tuannya. Suatu saat tuannya datang dan berkata ”Wahai fulan tolong ambilkan aku setangkai anggur yang sudah matang! Tidak lama kemudian orang tersebut membawakan setangkai anggur. Namur ketika anggur itu dicicipi tenyata rasanya kecut. Lantas tuannya berkata  “Anggurnya asam, kecut! Apa kamu tidak bisa bedakan mana anggur yang sudah matang dan mana anggur yang belum matang?. Penjaga kebun itupun menjawab dengan jawaban yang begitu mengagetkan “ wahai tuanku, selama aku bertugas di sini, aku belum pernah mencicipi buah anggur meski hanya sebutirpun! Karena aku hanya diperintahkan untuk menjaga kebun anggur, bukan untuk mencicipinya!”
Begitu agungnya arti sebuah amanah, sehingga ia menjadi barang mahal yang pernah ada dan mustinya kita pertahankan.. mungkin kita begitu terkagum-kagum dengan keteladanan para nabi, sahabat dan orang-orang salíh… Namun mungkin pula, ada di antara kita yang tergelitik membaca kisah-kisah di atas disebabkan begitu kontrasnya dengan fenomena yang terjadi saat ini…lihat saja di media massa dan elektronik… pemberitaan tentang pejabat yang Korupsi Kolusi  dan Nepotisme seolah menjadi sarapan pagi penduduk negri ini, perdagangan manusia yang melibatkan oknum tertentu, aborsi oleh petugas kesehatan, kekerasan dalam rumah tangga, penyelewengan arsip rahasia dan berbagai penyimpangan lain… semua itu adalah akibat lunturnya sifat amanah. Ketiadaan sifat amanah dapat merusak tatanan nilai dan memporak-porandakan segala aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara kita…
KETIGA: TABLIGH

“Penghianatan yang paling besar adalah bila seorang penguasa
memperdagangkan rakyatnya” (Muhammad SAW)

Firman Allah: ”Wahai rasul sampaikanlah apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu. Dan jika kamu tidak mengerjakannya berarti kamu tidak menyampaikan amanah… (Al-Maidah:67). Tabligh mengandung arti menyampaikan dan transparan. Tak ada satupun dari wahyu Allah yang disembunyikan. Rasulullah tetap teguh pada prinsip tabligh meskipun harus berhadapan dengan keluarga dekat, tetangga, masyarakat bahkan penguasa: ”Sampaikanlah yang benar meskipun pahit. Begitulah beliau mengajarkan…
Lawan dari menyampaikan adalah menyembunyikan, tidak transparan atau menutup-nutupi. Apa bila hal ini terjadi dalam masyarakat, maka dapat dipastikan hilangnya kepercayaan, merebaknya fitnah dan saling curiga…. Oleh karena itu salah satu penyebab utama perselisihan antar 2 orang, keretakan dalam rumah tangga, organisasi, instansi apapun namanya-pasti salah satunya disebabkan oleh komunikasi yang tak berjalan dengan baik. Tegasnya, bagaimana mungkin persoalan dapat terselesaikan tanpa komunikasi… bagaimana mungkin ada titik terang jika semuanya saling menahan informasi…  
KEEMPAT: FATHANAH

“Kita perlu melatih diri dalam menciptakan solusi yang lebih berbobot
 dan efektif dari setiap masalah yang kita hadapi”

Fathanah artinya cerdas, Nabi Saw memiliki tingkat kecerdasan yang patut diteladani.Namun demikian pakah yang dimaksud dengan kecerdasan? Prof.Howard Gardner menyatakan bahwa kecerdasan adalah kemampuan seseorang dalam menciptakan solusi. Namun jauh dari itu sahabat Ummar bin khattab berkata bahwa kecerdasan itu bukanlah kemampuan membedakan mana yang benar dan yang salah. Tetapi kecerdasan itu adalah kemampuan memberikan solusi….”
Berprestasi di bidang apapun membutuhkan ke-fatonahan dengan menjadikan Rasul sebagai teladan. Kita perlu melatih diri dalam menciptakan solusi yang lebih berbobot dan efektif. dari setiap masalah yang kita hadapi. Ingatlah! Kita menerima penghargaan adalah karena solusi yang kita berikan, bukan karena masalah yang kita hadapi. Dan Jujur saja seseorang bekerja dan digaji bukan karena pekerjaannya namun karena solusi yang ditawarkan…  Lantas bagaimanakah kita mendapatkan kecerdasan itu…. Jawabannya tentu dengan terus meningkatkan pengetahuan kita. Makin banyak ilmu yang kita dapat, makin besar pula kemampuan kita untuk memberikan tawaran solusi terhadap berbagai permasalahan yang ada...
8. PENUTUP
Demikian makalah ini saya sampaikan, semoga bermanfaat. Akhirnya saya menutup penyampaian ini dengan mengutip beberapa perkataan Ari Ginanjar Agustian:

Jika dalam tulisan ini ada penyebutan nama/ istilah agama
Bukan berarti bersifat ekslusifisme aliran atau agama
Tetapi keinginan untuk menyampaikan satu sisi kebenaran
Kalau dalam tulisan ini ada kutipan al-Qur’an/ hadits
Itu bukan golongan,
Tapi untuk seluruh umat manusia

Bukan Al-Qur’an untuk Islam
Bukan dunia untuk Islam
Tetapi Al-qur’an dan Islam untuk dunia
Perdamaian yang abadi tidak bisa dilakukan dengan sendiri
Tetapi bersama dengan yang lain

Selamat menjadi pemimpin yang inklusif,
Selamat menjadi pemimpin yang trasformatif,
Selamat menjadi pemimpin yang ‘abadi’…
  


   *PENULIS ADALAH KETUA KETUA BIDANG PENDIDIKAN DAN DAKWAH
     BIDANG PEMBANGUNAN UMAT (BPU) DPD PKS KAB. SUMBAWA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar