Valentine’s Day dengan segala pernak-perniknya sesungguhnya tidak
lepas dari arus utama Konspiratif yang hendak menghancurkan ketauhidan
seperti yang diajarkan para penyampai Risallah sejak Adam a.s. hingga
Muhammad SAW. Banyak sisi dari ‘hari istimewa’ tersebut yang belum
banyak kita ketahui. Banyak yang menyangka, umat Islam dilarang
mengikuti ritual tersebut semata-mata karena bersumber dari ritual kaum
Nasrani. Ini salah besar. Gereja Katolik pun pernah mengeluarkan
larangan umatnya untuk ikut-ikutan Valentine’s Day. Bahkan Katolik
Ensiklopaedia menyatakan ritual Valentine’s Day berasal dari ritual
pemujaan terhadap setan (The Satanic Ritual) dan paganisme.
Bukan itu saja, daya hancur Valentine’s Day juga dahsyat, terutama
dari sisi akidah dan moral. Sasaran utama penghancuran ini tentu saja
generasi muda.
Dalam bahasa Inggris, “Kasih Sayang” ditulis sebagai “Affection”,
bukan “Love”. Ada perbedaan mendasar antara istilah Affection dengan
Love. Yang pertama lebih dekat dengan perasaan atau curahan hati,
bersifat kejiwaan yang halus dan indah, sedang yang kedua, “Love”,
lebih dekat dengan tindakan yang mengarah kepada kegiatan atau aktivitas
seksual. Mungkin sebab itu, hubungan seksual disebut sebagai “Making
Love”.
Nah, terkait dengan pemahaman tersebut, Valentine’s Day sesungguhnya
tidak tepat jika diartikan sebagai “Hari Kasih Sayang”. Karena peristiwa
yang terjadi berabad tahun silam, yang kini diperingati sebagai Hari
Valentine, berawal dari suatu peristiwa yang lebih tepat disebut sebagai
pesta kemaksiatan (Making Love Party) ketimbang Pesta Kasih
Sayang. Peristiwa tersebut merupakan suatu ritual bagi bangsa Pagan Roma
yang dinamakan Lupercalian Festival.
Dalam kepercayaan Pagan Roma, bulan Februari dianggap sebagai bulan penuh “cinta” (Love, bukan affection)
dan bulan kesuburan (baca: masa birahi atau syahwat). Lupercalian Atau
Lupercus sendiri merupakan nama Dewa Kesuburan (Dewa Pertanian dan
Gembala), yang dipercaya berwujud seorang lelaki perkasa dan berpakaian
setengah telanjang dengan hanya menutupi tubuhnya dengan kulit kambing.
Mitologi mengenai Lupercus terkait erat dengan kisah Remus dan Romulus
yang tinggal di bukit Palatine dan diyakini kisahnya mengawali
pembangunan Kota Roma.
Selain Roma, kepercayaan Pagan Yunani Kuno juga meyakini bulan
Februari—tepatnya pertengahan Januari dan mencapai puncaknya pada
pertengahan Februari—merupakan bulan Gamelion, yang dipersembahkan
kepada perkawinan suci Dewa Zeus dan Hera. Baik kepercayaan Pagan Roma
maupun Pagan Yunani, keduanya meyakini bahwa Februari merupakan bulan
penuh gairah dan cinta (baca: syahwat).
LUPERCALIA FEST
Lupercalia Festival merupakan sebuah perayaan yang berlangsung pada
tanggal 13 hingga 18 Februari, di mana pada tanggal 15 Februari mencapai
puncaknya. Dua hari pertama (13-14 Februari), dipersembahkan untuk Dewi
Cinta (Queen of Feverish Love) bernama Juno Februata. Pada
tanggal 13-nya, di pagi hari, pendeta tertinggi pagan Roma menghimpun
para pemuda dan pemudi untuk mendatangi kuil pemujaan. Mereka dipisah
dalam dua barisan dan sama-sama menghadap altar utama. Semua nama
perempuan muda ditulis dalam lembaran-lembaran kecil. Satu lembaran
kecil hanya boleh berisi satu nama. Lembaran-lembaran yang berisi
nama-nama perempuan muda itu lalu dimasukkan kedalam wadah mirip kendi
besar, atau ada juga yang menyebutnya di masukan ke dalam wadah mirip
botol besar.
Setelah itu, sang pendeta yang memimpin upacara mempersilakan para
pemuda maju satu persatu untuk mengambil satu nama gadis yang telah
berada di dalam wadah secara acak, hingga wadah tersebut kosong. Setiap
nama gadis yang terambil, maka sang empunya nama harus menjadi kekasih
pemuda yang mengambilnya dan berkewajiban melayani segala yang
diinginkan sang pemuda tersebut selama setahun hingga Lupercalian
Festival tahun depan.
Tanpa ikatan perkawinan, mereka bebas berbuat apa saja. Dan malam
pertama di hari itu, malam menjelang 14 Februari hingga malam menjelang
15 Februari, di seluruh kota, para pasangan baru itu merayakan apa yang
kini terlanjur disebut sebagai ‘Hari Kasih Sayang’. Suatu istilah yang
benar-benar keliru dan lebih tepat disebut sebagai ‘Making Love Day’
alias Malam Kemaksiatan.
Pada tanggal 15 Februari, setelah sehari penuh para pasangan baru itu
mengumbar syahwatnya, mereka secara berpasang-pasangan kembali
mendatangi kuil pemujaan untuk memanjatkan doa kepada Dewa Lupercalia
agar dilindungi dari gangguan serigala dan roh jahat. Dalam upacara ini,
pendeta pagan Roma akan membawa dua ekor kambing dan seekor anjing yang
kemudian disembelih diatas altar sebagai persembahan kepada Dewa
Lupercalia atau Lupercus. Persembahan ini kemudian diikuti dengan ritual
meminum anggur.
Setelah itu, para pemuda mengambil satu lembar kulit kambing yang
telah tersedia dan berlari di jalan-jalan kota sambil diikuti oleh para
gadis. Jalan-jalan kota Roma meriah oleh teriakan dan canda-tawa para
muda-mudi, di mana yang perempuan berlomba-lomba mendapatkan sentuhan
kulit kambing terbanyak dan yang pria berlomba-lomba menyentuh gadis
sebanyak-banyaknya.
Para perempuan Romawi kuno di zaman itu sangat percaya bahwa kulit
kambing yang dipersembahkan kepada Dewa Lupercus tersebut memiliki daya
magis yang luar biasa, yang mampu membuat mereka bertambah subur,
bertambah muda, dan bertambah cantik. Semakin banyak mereka bisa
menyentuh kulit kambing tersebut maka mereka yakin akan bertambah cantik
dan subur.
Upacara yang sangat dinanti-nantikan orang-orang muda di Roma ini
menjadi salah satu perayaan favorit. Hal ini tidak aneh mengingat
kehidupan masyarakat Pagan Roma memang sangat menuhankan keperkasaan
(kejantanan), kecantikan, dan seks. Bahkan para Dewa dan Dewi—tuhan
mereka—digambarkan sebagai sosok lelaki perkasa dan perempuan yang
cantik nan menawan, dengan pakaian yang minim bahkan telanjang sama
sekali. Bangsa Roma memang sangat memuja kesempurnaan raga. Banyak
literatur menulis tentang tradisi Pagan Roma tersebut. Sampai sekarang,
pusat-pusat kebugaran yang menjadi salah satu ‘tren orang modern’
disebut sebagai Gymnasium atau disingkat Gym saja, yang berasal dari
istilah Roma yang mengacu pada tempat olah tubuh.
Tradisi pemujaan terhadap keperkasaan dan kecantikan ini, dan
tentunya semuanya bermuara pada pendewaan terhadap syahwat, tidak
menghilang saat Roma dijadikan pusat Gereja Barat oleh Kaisar
Konstantin. Gereja malah melanggengkan ritual pesta syahwat ini dengan
memberinya ‘bungkus kekristenan’ dengan mengganti nama-nama gadis dan
para pemuda dengan nama-nama Paus atau Pastor atau orang-orang suci
seperti Santo atau Saint (laki-laki) atau Santa (Perempuan). Mereka yang
melakukan ini adalah Kaisar Konstantin sebagai Paus pertama dan Paus
Gregory I. Bahkan pada tahun 496 M, Paus Gelasius I menjadikan
Lupercalian Festival ini menjadi perayaan Gereja dengan memunculkan
mitos tentang Santo Valentinus (Saint Valentine’s) yang dikatakan
meninggal pada 14 Februari.
Inilah apa yang sekarang kita kenal sebagai ‘The Valentine’s Day’.
Lupercalian Festival yang sesungguhnya lebih tepat disebut sebagai
‘Making Love Day, merupakan asal-muasal peringatan ini. Oleh sejumlah
pihak yang ingin mendapat keuntungan dari ritual tersebut dan eksesnya,
momentum itu disebut sebagai ‘Hari Kasih Sayang’, sesuatu yang sangat
jauh dan beda esensinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar