DAFTAR ISI

Rabu, 25 Januari 2012

Jangan Jadikan Air Itu Berhenti

Perang Ahzab atau perang Khandaq adalah salah satu pertempuran yang sangat melelahkan. Memang pertempuran dalam arti saling bunuh membunuh dalam jarak dekat tidak banyak terjadi. Namun, 10000 pasukan multinasional yang mengepung Madinah telah membuat kaum muslimin tidak sempat melakukan shalat Zhuhur, Ashar, dan Maghrib. Bahkan "hanya" sekedar kencing saja juga tidak sempat.

Selesai perang yang sangat melelahkan secara phisik dan psikis ini, Rasulullah saw hendak beristirahat barang sejenak. Karenanya, beliau sarungkan dan gantungkan pedang dan senjata beliau. Namun Allah swt tidak menginginkan beliau dan kaum muslimin beristirahat. Karenanya, Allah utus malaikat Jibril as untuk menemui Rasulullah saw. Sambil tetap berada di atas bighal, malaikat Jibril as berkata: "Sepertinya engkau sudah meletakkan senjatamu, wahai Rasulullah saw? Padahal para malaikat belum meletakkan senjata mereka ...". Rasulullah saw sadar bahwa Allah swt, melalui Jibril, telah memerintahkannya untuk melanjutkan jihad, kendatipun ia belum sempat beristirahat barang sejenak.(Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam).

Riwayat ini menggambarkan kepada kita agar kita "tidak berhenti" dalam dan dari berjihad.

Pada suatu hari, ada beberapa orang Anshar sedang berkumpul-kumpul. Salah seorang diantara mereka, yaitu Abul Ayyub Al-Anshari, berkata: "Sekarang Islam telah jaya, telah eksis, dan telah kokoh. Sebaiknya kita kembali ke ladang-ladang kita, kebun-kebun kita, kita urus lagi harta kekayaan kita yang selama ini "terbengkalai" dan kita garap lagi lahan-lahan itu dengan serius, lahan yang selama ini telah kita "tinggalkan" dalam rangka berjihad fi sabilillah, dan hasilnya kita infaqkan fi sabilillah juga, sementara jihad di medan laga biar ditangani oleh saudara-saudara kita lainnya".

Pada saat itu pula Allah swt menurunkan firman-Nya: "Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS Al Baqarah: 195).

Sedangkan riwayat yang satu ini menggambarkan kepada kita bahwa kehancuran, atau kebinasaan, atau istilah Al Qur'annya tahlukah akan terjadi manakala kita meninggalkan jihad.

Kalau dua riwayat ini kita hubungkan dengan sirah Rasulullah saw lainnya, kita akan temukan data-data berikut:
  • Peperangan yang dipimpin oleh Rasulullah saw secara langsung (ghozwah) ada 26 ghozwah.
  • Peperangan yang tidak dipimpin oleh Rasulullah saw secara langsung (sariyyah) ada 38 sariyyah.
Maka kita akan dapat menarik satu kesimpulan bahwa manuver Rasulullah saw dan para sahabatnya itu tiada henti dan tanpa putus. Bagaimana tidak, waktu yang kurang lebih sepuluh tahun itu terisi oleh peperangan 64 kali peperangan.

Sungguh, sebuah manuver yang menggambarkan betapa Rasulullah saw dan para sahabatnya senantiasa menumpahkan segala potensi dan kemampuan yang dimilikinya secara maksimal dan tiada henti, sehingga "tidak ada" waktu lagi untuk bersitirahat dan "meng-andai-andaikan" hal-hal yang sifatnya duniawi. Kalau hal itu kita ibaratkan sebagai air yang mempunyai potensi besar untuk menerjang apa saja, maka aliran air itu tiada pernah berhenti.

Kalau Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 195 itu kita hubungkan dengan pengibaratan air ini, kita bisa katakan bahwa justru kalau air itu berhenti, dan tidak lagi mengalir, maka air itu akan menjadi rusak, kotor, sarang nyamuk, dan sumber penyakit, serta berubah warnanya. Begitu juga dengan potensi jihad yang ada pada kita. Bila potensi jihad itu kita berhentikan, baik jihad da'awi, jihad ta'limi, jihad irsyadi, jihad tarbawi, jihad bina-I (jihad membina), jihad qitali dan jihad-jihad lainnya, maka potensi itupun akan bernasib sama dengan air itu. Karenanya wajar bila Allah swt memperingatkan para sahabat akan datangnya tahlukah kepada mereka bila mereka meninggalkan jihad, dan menyibukkan diri dengan urusan pertanian, kehutanan dan perkebunan.

Firman Allah swt diatas dipertegas juga oleh hadits Rasulullah saw yang menyatakan: "Jika kalian telah berjual beli secara 'ienah (rekayasa dan akal-akalan dalam praktek riba), kalian telah mengambil ekor sapi dan puas (asyik) dengan pertanian serta meninggalkan jihad, niscaya Allah swt akan menjadikan kehinaan menguasai kalian yang tidak akan dicabut sehingga kalian kembali kepada agama kalian." (HR Abu Daud dan Ahmad, dan Syekh Nashirud-Din Al Al Bani menilainya hasan).

Berkenaan dengan hal ini simaklah apa yang dikatakan oleh Sayyid Qutub dalam salah satu bukunya:

"Yang demikian ini karena, hakikat iman tidak akan sempurna dalam hati, melainkan setelah:

1. Bermujahadah dalam menghadapi orang banyak dalam urusan iman ini; Mujahadah dengan hati; bentuknya: membenci kebatilan mereka, jahiliyyah mereka dan bertekad memindahkan mereka dari kebatilan dan jahiliyyah itu kepada kebenaran dan Islam. Mujahadah dengan lisan; bentuknya: Tabligh.dan bayan (penerangan). Menolak kebatilan mereka yang merupakan kepalsuan itu. Menegaskan kebenaran yang dibawa Islam. Dan mujahadah dengan tangan atau pisik; bentuknya: menolak dan menyingkirkan mereka-mereka yang melakukan penghadangan terhadap jalan hidayah dengan mempergunakan kekuatan yang melampaui batas dan penghancuran yang curang.

2. Merasakan melalui mujahadah-nya itu: Ujian (ibtila' atau tribulasi) dan rasa sakit. Bersabar atas ibtila' dan rasa sakit itu. Bersabar atas kekalahan. Dan Bersabar atas kemenangan, karena, bersabar atas kemenangan lebih berat (sulit) dari pada bersabar atas kekalahan. Kemudian …

3. Tetap Tsabat (tegar) dan tidak ragu-ragu, istiqamah dan tidak menolah-noleh dan terus maju meniti jalan iman dengan terus menanjak dan tidak tersesat".

Selanjutnya Sayyid Qutub mengatakan:

"Dan hakikat iman tidak sempurna dalam hati sehingga menghadapkannya untuk mujahadah menghadapi orang banyak dalam urusan iman ini, sebab, saat ia mujahadah menghadapi orang banyak itu: Ia sendiri bermujahadah melawan dirinya sendiri. Dan akan terbuka baginya wawasan dan pemandangan keimanan yang belum pernah terbuka baginya selamanya bila ia hanya duduk (diam) dengan aman dan tenang. Akan jelas baginya hakekat-hakekat tentang manusia dan kehidupan yang belum pernah manjadi jelas baginya selamanya tanpa adanya wasilah (sarana) ini. Dan ia sendiri -dengan jiwanya, segala perasaannya, persepsi-persepsinya, kebiasaannya, tabiatnya, emosinya dan responnya- akan sampai pada sesuatu yang tidak mungkin sampai kepadanya tanpa pengalaman berat dan sulit ini".

Lebih lanjut Sayyid Qutub mengatakan: "Inilah sebagian dari yang diisyaratkan firman Allah swt : Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebagaian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. (QS Al Baqarah: 251).

Dan kerusakan yang pertama kali terjadi adalah kerusakan jiwa manusia (nafsul insan), kerusakan yang terjadi karena rukud (diam, tidak bergerak, atau istilahnya berharakah, tidak mengalir), rukud yang menyebabkan: Ruhnya membusuk akibat adanya stagnasi. Himmah (semangat)-nya istirkha' (mengendor, lembek, loyo, tidak kenceng). Nafs (jiwa)-nya rusak dikarenakan adanya rakha' (bergelimangnya harta dunia) dan tharawah (tidak teruji dan terlatihnya jiwa itu dengan hal-hal yang berat). Yang pada akhirnya seluruh kehidupanpun menjadi rusak gara-gara rukud tadi. Atau karena hanya bergerak pada bidang syahwat saja, sebagaimana yang terjadi pada bangsa-bangsa yang mendapatkan cobaan dalam bentuk kemewahan hidup".

sumber : keadilan.or.id

Jangan Hidup Seperti Burung

Dalam al-Qur'an terdapat kisah yang sangat menarik untuk dijadikan uswah. Di mana ada seorang ibu yang bercita-cita ingin menjadikan anaknya seorang hamba yang shalih. Hamba yang akan menegakkan agama Allah di permukaan bumi. Kisah itu tertuang pada surah Ali 'Imran 35: "(Ingatlah), ketika isteri 'Imran berkata: 'Ya Rabbku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu daripadaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

Dia tidak menginginkan anaknya menjadi seorang yang punya gelar kesarjanaan, jabatan dan kedudukan yang terhormat. Dia tidak menginginkan sesuatu yang sifatnya keduniawian yang hanya berkisar pada pemenuhan kebutuhan perut, syahwat dan tempat tinggal.

Mencari nafkah memang perlu, bahkan wajib. Demikian juga mencari tempat tinggal, juga perlu. Akan tetapi hidup yang dikaruniakan Allah ini, bukan hanya untuk mencari makan, lalu menikah dan beranak pinak saja. Setelah anaknya dewasa disuruhlah mereka mencari nafkah sendiri.

Jika hidup hanya seperti ini, sama dengan hidupnya burung. Pagi-pagi sudah bertebaran mencari makanan, kembali ke sarang perutnya sudah kenyang. Anak-anaknya yang masih kecil-kecil di dalam sarang dikasih makanan yang dibawanya. Malamnya kumpul kembali sekeluarga di sarang. Pekerjaan ini terus berlangsung setiap hari sampai anaknya bisa mencari makan sendiri. Burung-burung yang telah dewasa mengerjakan pula rutinitas seperti seniornya. Mencari makan, kawin, bikin rumah dan membesarkan anak.

Bila gelar, pangkat dan kedudukan yang tinggi hanya untuk memenuhi kebutuhan perut dan di bawah perut, tentulah hidupnya berada pada derajat yang rendah. Tidak ada cita-cita lain dalam hidupnya kecuali untuk itu. Bekerja untuk mencari makan. Makan untuk bekerja. Berputar terus dari itu ke itu.

Padahal tugas manusia bukan untuk itu. Tugas manusia adalah menjadi khalifah, wakil Allah di muka bumi. Sebagai wakil Allah, haruslah ia berusaha menjalankan aturan-aturan Allah di permukaan bumi. Menegakkan kalimah-Nya dan memenangkan agama-Nya. Jika hidup hanya unutk mencari makan saja, cecak pun bisa. Dia yang hanya menempel di dinding dan tidak bisa terbang, tapi tetap bisa hidup dengan memakan hewan-hewan yang punya sayap. Dia hanya menunggu nyamuk-nyamuk yang kekenyangan hinggap di dinding, sehingga dapat menangkapnya dengan mudah.

Lihatlah istri 'Imran, dia hanya mencita-citakan anaknya menjadi anak yang shalih dan berkhidmat di Baitul Maqdis. Dia tidak mencita-citakan anaknya mendapatkan pangkat, kedudukan, kekayaan dan lain sebagainya yang sifatnya hanya duniawi semata. Adakah di zaman sekarang ini seorang ibu yang mempunyai cita-cita seperti itu? Rasanya hanya sedikit orang saja yang mempunyai cita-cita seperti itu. Pastilah kita dapati kebanyakan ibu-ibu menghendaki anaknya mempunyai status sosial yang tinggi. Punya gelar, kedudukan, pangkat, jabatan, atau menjadi orang kaya.

Cita-cita yang dimiliki istri 'Imran ini memang langka dan aneh menurut ukuran dan pola pandang orang sekarang. Tapi itulah cita-cita yang akan membedakan kedudukan manusia dengan makhluk lainnya. Manusia mulia karena fungsi kekhalifahannya didayagunakan. Yakni menegakkan kalimah tauhid di belahan bumi manapun. Itulah tugas utama seorang hamba. Dari tingkat rasul sampai kepada tingkat kita sebagai manusia biasa.

Sang ibu bila mempunyai cita-cita yang mulia ini, janganlah lupa bila telah terlahir seorang anak, maka cepat-cepatlah meminta pertolongan, perlindungan dan pemeliharaan Allah dari syetan yang terkutuk. Syetan tidak akan tinggal diam membiarkan anak tersebut mencapai cita-citanya. Pastilah dia akan menggoda, merayu dan membisikkan bisikannya yang penuh tipu daya agar anak tersebut langkah-langkahnya menyimpang dan tersesat. Syetan akan berusaha menggelincirkannya pada jalan yang menjerumuskannya pada kemungkaran.

Inilah perlunya meminta pertolongan dan perlindungan Allah. Jika Allah telah melindunginya pastilah dia akan terpelihara dari godaan syetan yang akan menyesatkannya. Akan tetapi cita-cita yang luhur, agung dan mulia saja belum cukup untuk mendapatkan anak yang diidam-idamkan itu. Masih ada perangkat lain yang menunjang tercapainya tujuan ini. Yakni pendidikan dan lingkungan.

Maryam -anak keluarga 'Imran- menjadi hamba yang shalihah dan taat berkat adanya didikan dan lingkungan yang mengantarkannya. Dia dididik oleh manusia pilihan Allah, Nabi Zakaria. Maryam dididiknya dengan baik dan pemeliharaan yang penuh kasih sayang. Tumbuhlah Maryam menjadi seorang manusia yang suci. Manusia yang diberi keistimewaan oleh Allah SWT.

Jelaslah di sini bahwa untuk mewujudkan cita-cita itu perlu pendidikan, lingkungan dan suasana yang mendukung. Keinginan untuk menjadikan anak yang shalih harus didukung faktor-faktor tersebut. Tanpa itu, jangan harap bisa menjadi kenyataan. Berat untuk mewujudkan kalau anak-anak kita dididik dengan pendidikan yang jauh dari norma-norma agama.

Pendidikan yang berkiblat ke Barat yang sekuler, adalah pendidikan yang membentuk kepribadian anak menjadi materialistis dan hedonis. Ditambah lagi dengan lingkungan yang bisa menyeret pada tindak kelakuan menyimpang dari fitrah kemanusiaan. Yang hanya menumbuhkembangkan dominasi nafsu dan mematikan peran serta ruh. Langkah-langkah yang dipakai atau digunakan untuk membentuk anak yang shalih dan mempunyai cita-cita menegakkan kalimah Allah adalah dengan memasukkan anak-anak kita pada tempat yang telah dikondisikan untuk itu. Di tempat yang sudah menyiapkan perangkat-perangkat yang memprogram proses penumbuhan cita-cita mulia ini. Lingkungan dan pendidikan yang bisa menjabarkan tentang tugas dan kewajiban seorang hamba yang diciptakan Allah.

Apa perlunya Allah menciptakan manusia? Dan apa peranannya di muka bumi? Apakah hanya untuk makan, kawin dan bikin pondokan? Perlu sekali kita sebagai seorang muslim untuk mengetahui itu semua. Apalah artinya kita hidup di dunia ini bila tidak mengetahui peran dan fungsi kita. Tidak ada nilai lebih yang kita dapati, bila dalam kehidupan ini tidak mengetahui arah dan tujuannya.

Untuk mencari tempat atau lingkungan seperti itu di zaman sekarang ini memang cukuplah sulit. Lingkungan yang ditata secara alamiah, ilmiah dan Islamiah. Lingkungan yang menumbuhkembangkan ghirah keislaman dan pendayagunaan peranan manusia sebagai seorang khalifah. Seseorang yang menjadi pesuruh-pesuruh Allah dalam menerapkan aturan-aturan-Nya, ayat-ayat-Nya atau ketentuan-ketentuan-Nya di permukaan bumi. Seseorang yang akan berjuang terus selama kalimah la ilaha illallah belum bisa ditegakkan. Selama syariat-syariat Allah belum dijalankan. Dan selama firman-firman Allah belum diterapkan.

Kesulitan untuk mencari tempat seperti ini janganlah menjadikan kita berputus asa. Insya Allah bila kita telah mencita-citakan untuk li i'laikalimatillah yang mulia dan berusaha untuk terus mencari, pastilah Allah akan mengantarkan kita pada tempat yang diidamkan. Allah SWT akan mengantarkan dan menunjuki jalan kepada hamba-Nya yang selalu mencari kebenaran. Hidayah Allah akan diberikan kepada makhluk yang Dia kehendaki.

Sungguh agung cita-cita ini. Tiada lagi cita-cita yang bisa mengantarkan kemuliaan kecuali cita-cita menegakkan kalimah Allah. Berbahagialah hamba-hamba Allah yang berkeinginan mendapatkan derajat kemanusiaan yang tertinggi dan terhormat. Cita-cita yang akan mendapatkan imbalan dari Allah berupa kenikmatan yang tiada taranya, yakni jannah. Kenikmatan yang belum pernah terlintas pada pendengaran, penglihatan, dan hati. Hidup kekal selamanya dalamnya.

sumber : Al Qalam, Suara Hidayatullah

Ironisme Kezaliman dan Kekerasan

Oleh : Dr KH Didin Hafidhuddin, Msc 
”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat. Dan Allah melarang dari perbuatan keji, Kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapal mengambil pelajaran, “(QS an-Nahl: 90)

Secara tersirat al-Qur’an dan Hadis banyak memuat perintah untuk menegakkan keadilan dan mem-berantas kezaliman. Islam menghendaki agar setiap orang mendapatkan hak-haknya sebagai manusia, juga terpenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Dalam konteks kehi-dupan, ia harus terjamin keselamatan aga-manya, jiwa raga, kehormatannya, keselamatan akalnya, harta benda dan nasab keturunannya. Sarana pokok yang menjamin terlaksananya hal-hal tersebut adalah tegaknya keadilan dan hilangnya kezaliman dalam tatanan kehidupan masyarakat.

Ayat diatas mengemukakan tentang tiga perintah utama yang harus ditegakkan jika kita ingin membangun kehidupan sosial, berbangsa dan bernegara secara baik. Hal tersebut diwujudkan dalam sikap berlaku adil, ihsan dan memperkuat hubungan persaudaraan. Di samping itu, ada tiga perbuatan buruk yang harus dijauhi karena akan menghancurkan tatanan kehidupan sosial, yaitu fahsya (perbuatan keji), munkar dan kezaliman.

Abdullah bin Mas’ud ketika menafsirkan ayat tersebut menyatakan, di dalamnya tercakup semua perintah dan larangan dalam Islam. Semua perbuatan baik yang diperintahkan pada dasarnya kembali pada tiga hal tersebut. Demikian pula semua yang dilarang kembali kepada tiga perbuatan merusak tersebut (Shafwah at-Tafasir 11/139).

Betapa pentingnya usaha menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman dalam kehidupan, sehingga dike-mukakan dalam oleh Allah SWT (QS al-Hadid: 25) bahwa tidaklah diutus para Rasul dan tidak pula diturunkan kitab-kitab kepada mereka melainkan untuk menegakkan keadilan dalam kehidupan umat manusia. Diungkapkan pula bahwa kehancuran dan kebinasaan yang menimpa suatu umat dan bangsa adalah akibat dari ketidak-adilan (kezaliman) yang mereka lakukan (QS. Yunus : 13 dan (QS. an-NamI: 52), apalagi kezaliman yang dilakukan oleh para pengua-sa terhadap rakyatnya (QS al-lsra: 16).

Di negara Republik Indonesia yang sama-sama kita cintai ini, hampir tiap hari ditemukan berbagai kasus kekerasan dan kezaliman, baikyang dilakukan oleh sebagian penguasa kepada rakyatnya (kezaliman yang bersifatvertikal) maupun yang dilakukan antar sesama anggota masyarakat (kezaliman yang bersifat horizontal). Para aktivis masjid yang diduga terkait dengan kegiatan teroris-me, langsung diciduk petugas tanpa prose-dur yang menggambarkan keadilan. Apalagi ternyata banyak di antara mereka yang dilepaskan kembali karena dianggap tidak bersalah (tanpa ada pernyataan resmi petu gas yang merehabilitasi nama baik mereka).

Rakyat kecil banyak yang menangis meneteskan air matanya saat mereka me-nyaksikan tempat tinggal mereka digusur oleh para petugas, dengan dalih penertiban dan keindahan kota, tanpa ada ganti rugi yang wajar dan memadai. Para pegawai dari berbagai departemen hampir setiap hari berdemonstrasi dengan jumlah besar, karena merasa dizalimi oleh pimpinan mereka maupun oleh pemerintah. Pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa uang pesangon yang adil dan wajar sering terjadi di mana-mana. Yangjadi korban lagi-lagi para pegawai kecil.

Ironisnya, proyek-proyek mercusuar seperti pembangunan monumen, dengan menghabiskan dana miliaran rupiah mulai mencuat kembali dan didukung sepenuh-nya oleh para penguasa, dengan alasan melestarikan nilai-nilai sejarah dan buda-ya. Pemilihan kepala daerah di berbagai tempat ditengarai pula menjalankan praktik kotor money politics yang meng-hambur-hamburkan uang dalam jumlah yang sangat besar.

Kini terdapat pula rencana dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang memberi pembebasan dari jerat hukum (release and discharge) terhadap sejumlah pengutang kelas kakap, padahal negara dirugikan ratusan triliyun rupiah. Sementara itu, kalangan usaha kecil dan menengah (UKM) yang bernasib sama, yang memiliki pinjaman dalam jumlah kecil, jauh dari perlakuan istimewa tersebut.

Sementara itu kekerasan yang bersifat horizontal semakin tumbuh dan berkem-bang. Dengan dalih pembinaan disiplin, para mahasiswa senior di sebuah pergu-ruan tinggi menganiaya adik kelasnya sampai meninggal dunia. Dengan alasan yang tidak jelas, para pelajar suatu sekolah menyerang dan menghabisi nyawa rekan-rekannya yang berasal dari sekolah lain.

Jika hal ini tidak segera ditangani dengan sungguh-sungguh oleh semua pihak secara bersama-sama, maka kehancuran total masyarakat dan bangsa kita tinggal menunggu waktu. Allah SWT berfirman, “Dan jika Kami hendak membi-nasakan suatu negeri, maka Kami perintah-kan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu dengan sehancur-hancumya. Dan betapa banyak kaum sesudah Nuh telah Kami binasakan. Dan cukuplah Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya,” (QS al-lsraa : 16-17). Wallahu-a’lam.

Ikhlas:Ikhlassunniyah

Secara bahasa,ikhlas berasal dari kata khalasha yang berarti bersih/murni. Sedangkan niat berarti al qashdu,artinya maksud atau tujuan. Ikhlassunniyah berarti membersihkan maksud dan motivasi kepada Allah dari maksud dan niat lain. Hanya mengkhususkan Allah azza wa jalla sebagai tujuan dalam berbuat.Allah telah memerintahkan kita untuk ikhlas dalam beramal dan beribadah kepadaNya seperti yang tercantum dalam Q.S. Al Bayyinah;5 dan Q.S. Al A’raaf;110


Pentingnya Ikhlassunniyah :
  1. Merupakan ruhnya amal,karena seperti badan yang tidak ada ruhnya,maka tanpa ikhlas amal,sebagus apapun tidak ada artinya.
  2. Salah satu syarat diterimanya amal
    "Allah azza wa jalla tidak menerima amal kecuali apabila dilaksanakan dengan ikhlas dalam mencari keridhaanNya semata" (HR. Abu Daud dan Nasa'i)
  3. Syarat diterimanya amal atau perbuatan :
    • Bersungguh-sungguh dalam melaksanakannya
    • Ikhlas dalam berniat
    • Sesuai dengan syariat Islam (Al Quran dan Sunnah)
  4. Penentu nilai/kualitas suatu amal (Q.S.An NIsaa;125)
  5. Mendatangkan berkah dan pahala dari Allah (Q.S.Al Baqarah;262 dan Q.S.An Nisaa;145-146)

Beberapa unsur dalam membentuk ikhlas:
  1. Orang yang mukhlis harus memperhatikan pandangan khaliq,bukan pandangan makhluk.Sebab sedikitpun mereka tidak ada artinya bagi Allah.
  2. Apa yang lahir pada diri orang yang mukhlis harus sinkron dengan batinnya,yang tampak dengan yang tersembunyi. Sary as Saqthy berkata,"Barangsiapa berhias dimata manusia dengan sesuatu yang tidak selayaknya,maka dia menjadi hina dimata Allah"
  3. Menganggap sama antara pujian dan celaan manusia. Engkau tidak lepas dari celaan manusia walaupun engkau terpuji disisi Allah.Begitu pula sebaliknya.
  4. Tidak boleh memandang ikhlasnya,sehingga ia takjub kepada diri sendiri,sehingga ketakjubannya itu justru merusak dirinya. Maka dari itu,orang-orang arif menegaskan untuk tidak melihat amal diri sendiri. Sehingga Abu Ayyub As Susy berkata "Selagi mereka melihat ikhlasnya sudah cukup,berarti ikhlas mereka itu masih membutuhkan ikhlas lagi"
  5. Melupakan tuntutan pahala amal di akhirat.
    Sebab orang yang mukhlis tidak merasa aman terhadap amalnya,yang bisa saja dicampuri bagian untuk dirinya.Menurut pandangan orang mukhlis,amal yang dikerjakannya itu tidak layak dimintai suatu balasan dan ia melihat pahala sebagai suatu kebaikan Allah SWT terhadap dirinya. Nabi SAW bersabda,"Sekali kali amal seorang diantara kalian tidak akan mampu memasukkannya kedalam surga." Mereka bertanya "Tidak pula engkau wahai Rasulullah?" Beliau menjawab "TIdak pula aku,kecuali Allah melimpahkan rahmatNya kepadaku" (HR. Muttafaqun 'alaih.)
  6. Takut penyusupan riya dan hawa nafsu kedalam jiwa,sementara dia tidak menyadarinya.Sebab syetan itu mempunyai saluran yang terselubung dan ruwet,yang bisa dijadikan jalan untuk menyusup kedalam jiwa.

Cara untuk menumbuhkan niat yang ikhlas :
  1. Mengetahui arti keikhlasan dan urgensinya dalam beramal.
  2. Menambah pengetahuan tentang Allah SWT dan hari kiamat.
    Dengan mengetahui ilmu tentangNya,maka seseorang yang mengenal Allah dengan sebenar2nya tentulah ia tidak akan berani menyekutukan Allah dengan selainNya didalam niatnya. Ia juga akan mempertimbangkan amal-amalnya dan balasannya nanti diakhirat.
  3. Memperbanyak membaca/berinteraksi dengan Al Qur'an,karena Al Qur'an adalah penyembuh dari segala penyakit dalam dada (Q.S. Yunus;57) termasuk penyakit riya',ujub dan sum'ah.
  4. Memperbanyak amal-amal rahasia,sehingga kita terbiasa untuk beramal karena Allah semata tanpa diketahui orang lain.
  5. Menghindari/mengurangi saling memuji,karena dengan pujian terkadang orang jadi lalai hatinya dan menjadi sombong.
  6. Berdo'a,dengan tujuan agar selalu diberi keikhlasan dan dijauhi dari syirik

Senin, 23 Januari 2012

Hubungan Muda-Mudi Sebelum Menikah (Pacaran) dalam Tinjauan Syariat

Tak kenal maka tak sayang! Itulah sebuah ungkapan yang telah populer di kehidupan kita. Bahkan, ungkapan itu memang berlaku umum, yaitu sejak seseorang mulai mengenal lingkungan hidupnya. Dalam konteks hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, istilah "tak kenal maka tak sayang" adalah awal dari terjalinnya hubungan saling mencintai. Apa lagi, di zaman sekarang ini hubungan seperti itu sudah umum terjadi di masyarakat. Yaitu, suatu hubungan yang tidak hanya sekadar kenal, tetapi sudah berhubungan erat dan saling menyayangi. Hubungan seperti ini oleh masyarakat dikenal dengan istilah "pacaran".

Istilah pacaran berasal dari kata dasar pacar yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Istilah pacaran dalam bahasa Arab disebut tahabbub. Pacaran berarti bercintaan; berkasih-kasihan, yaitu dari sebuah pasangan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.

Para ulama telah banyak membicarakan masalah ini, seperti misalnya yang terdapat dalam Fatwa Lajnah Daimah, sebuah kumpulan fatwa dari beberapa ulama. Sebelum sampai pada simpulan hukum pacaran, terlebih dahulu ditelusuri berbagai kemungkinan yang terjadi ketika sebuah pasangan muda-mudi yang bukan mahram menjalin hubungan secara intim. Dengan penelusuran seperti ini, suatu tindakan tertentu yang berkaitan dengan hubungan muda-mudi ini dapat dinilai dari sudut pandang syar'i. Dengan demikian, kita akan dengan mudah mengetahui suatu "hubungan" yang masih dapat ditoleransi oleh syariat dan yang tidak.

Apa yang terjadi dari sebuah hubungan antara seseorang dengan orang lain secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi lima: perkenalan, hubungan sahabat, jatuh cinta, hubungan intim, dan hubungan suami istri.

Perkenalan

Islam tidak melarang seseorang untuk menganal orang lain, termasuk lawan jenis yang bukan mahram. Bahkan, Islam menganjurkan kepada kita untuk bersatu, berjamaah. Karena, kekuatan Islam itu adalah di antaranya kejamaahan, bahkan Allah menciptakan manusia menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku itu untuk saling mengenal.

Allah SWT berfirman yang artinya, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal." (Al-Hujuraat: 13).

Hubungan Sahabat

Hubungan sahabat adalah hubungan sebagai kelanjutan dari sebuah hubungan yang saling mengenal. Setelah saling mengenal, seseorang berhubungan dengan orang lain bisa meningkat menjadi teman biasa atau teman dekat (sahabat). Hubungan sahabat dimulai dari saling mengenal. Hubungan saling mengenal ini jika berlangsung lama akan menciptakan sebuah hubungan yang tidak hanya saling mengenal, tetapi sudah ada rasa solidaritas yang lebih tinggi untuk saling menghormati dan bahkan saling bekerja sama. Contoh yang mungkin dapat diambil dalam hal ini adalah seperti hubungan antara Zainudin MZ dengan Lutfiah Sungkar, Neno Warisman dengan Hari Mukti, dan lain-lain. Mereka adalah pasangan lawan-lawan jenis yang saling mengenal, juga dalam diri mereka terjalin hubungan yang saling menghormati, bahkan mungkin bisa bekerja sama. Dalam Islam, hubungan semacam ini tidaklah dilarang.

"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." (Al-Maidah: 2).

Jatuh Cinta

Islam juga tidak melarang seseorang mencintai sesuatu, tetapi untuk tingkatan ini harus ada batasnya. Jika rasa cinta ini membawa seseorang kepada perbuatan yang melanggar syariat, berarti sudah terjerumus ke dalam larangan. Rasa cinta tadi bukan lagi dibolehkan, tetapi sudah dilarang. Perasaan cinta itu timbul karena memang dari segi zatnya atau bentuknya secara manusiawi wajar untuk dicintai. Perasaan ini adalah perasaan normal, dan setiap manusia yang normal memiliki perasaan ini. Jika memandang sesuatu yang indah, kita akan mengatakan bahwa itu memang indah. Imam Ibnu al-Jauzi berkata, "Untuk pemilihan hukum dalam bab ini, kita harus katakan bahwa sesungguhnya kecintaan, kasih sayang, dan ketertarikan terhadap sesuatu yang indah dan memiliki kecocokan tidaklah merupakan hal yang tercela. Terhadap cinta yang seperti ini orang tidak akan membuangnya, kecuali orang yang berkepribadian kolot. Sedangkan cinta yang melewati batas ketertarikan dan kecintaan, maka ia akan menguasai akal dan membelokkan pemiliknya kepada perkara yang tidak sesuai dengan hikmah yang sesungguhnya, hal seperti inilah yang tercela."

Begitu juga ketika melihat wanita yang bukan mahram, jika ia wanita yang cantik dan memang indah ketika secara tidak sengaja terlihat oleh seseorang, dalam hati orang tersebut kemungkinan besar akan terbesit penilaian suatu keindahan, kecantikan terhadap wanita itu. Rasa itulah yang disebut rasa cinta, atau mencintai. Tetapi, rasa mencintai atau jatuh cinta di sini tidak berarti harus diikuti rasa memiliki. Rasa cinta di sini adalah suatu rasa spontanitas naluri alamiah yang muncul dari seorang manusia yang memang merupakan anugerah Tuhan. Seorang laki-laki berkata kepada Umar bin Khattab r.a., "Wahai Amirul Mukminin, aku telah melihat seorang gadis, kemudian aku jatuh cinta kepadanya." Umar berkata, "Itu adalah termasuk sesuatu yang tidak dapat dikendalikan." (R Ibnu Hazm). Dalam kitab Mauqiful Islam minal Hubb, Muhammad Ibrahim Mubarak menyimpulkan apa yang disebut cinta, "Cinta adalah perasaan di luar kehendak dengan daya tarik yang kuat pada seseorang."

Sampai batas ini, syariat Islam masih memberikan toleransi, asalkan dari pandangan mata pertama yang menimbulkan penilaian indah itu tidak berlanjut kepada pandangan mata kedua. Karena, jika raca cinta ini kemudian berlanjut menjadi tidak terkendali, yaitu ingin memandang untuk yang kedua kali, hal ini sudah masuk ke wilayah larangan.

Allah SWT berfirman yang artinya, "Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.' Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka …." (An-Nuur: 30--31). Menundukkan pandangan yaitu menjaga pandangan, tidak dilepas begitu saja tanpa kendali sehingga dapat menelan merasakan kelezatan atas birahinya kepada lawan jenisnya yang beraksi. Pandangan yang terpelihara adalah apabila secara tidak sengaja melihat lawan jenis kemudian menahan untuk tidak berusaha melihat lagi kemudian.

Dari Jarir bin Abdullah, ia berkata, "Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang melihat dengan mendadak. Maka jawab Nabi, 'Palingkanlah pandanganmu itu'!" (HR Muslim, Abu Daud, Ahmad, dan Tirmizi).

Rasulullah saw. berpesan kepada Ali r.a. yang artinya, "Hai Ali, Jangan sampai pandangan yang satu mengikuti pandangan lainnya! Kamu hanya boleh pada pandangan pertama, adapun berikutnya tidak boleh." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi).

Ibnul Jauzi di dalam Dzamm ul Hawa menyebutkan bahwa dari Abu al-Hasan al-Wa'ifdz, dia berkata, "Ketika Abu Nashr Habib al-Najjar al-Wa'idz wafat di kota Basrah, dia dimimpikan berwajah bundar seperti bulan di malam purnama. Akan tetapi, ada satu noktah hitam yang ada wajahnya. Maka orang yang melihat noda hitam itu pun bertanya kepadanya, 'Wahai Habib, mengapa aku melihat ada noktah hitam berada di wajah Anda?' Dia menjawab, 'Pernah pada suatu ketika aku melewati kabilah Bani Abbas. Di sana aku melihat seorang anak amrad dan aku memperhatikannya. Ketika aku telah menghadap Tuhanku, Dia berfirman, 'Wahai Habib?' Aku menjawab, 'Aku memenuhi panggilan-Mu ya Allah.' Allah berfirman, 'Lewatlah Kamu di atas neraka'. Maka aku melewatinya dan aku ditiup sekali sehingga aku berkata, 'Aduh (karena sakitnya)'. Maka Dia memanggilku, 'Satu kali tiupan adalah untuk sekali pandangan. Seandainya kamu berkali-kali memandang, pasti Aku akan menambah tiupan (api neraka)." Hal tersebut sebagai gambaran, bahwa hanya melihat amrad (anak muda belia yang kelihatan tampan) saja akan mengalami kesulitan yang sangat dalam di akhirat kelak.

Hubungan Intim

Jika rasa jatuh cinta ini berlanjut, yaitu menimbulkan langkah baru dan secara kebetulan pihak lawan jenis merespon dan menerima hubungan ini, terjadilah hubungan yang lebih jauh dan lebih tinggi levelnya, yaitu hubungan intim. Hubungan ini sudah tidak menghiraukan lagi rambu-rambu yang ketat, apalagi aturan. Dalam hubungan ini pasangan muda-mudi sudah bisa merasakan sebagian dari apa yang dialami pasangan suami istri. Pelaku hubungan pada tingkatan ini sudah lepas kendali. Perasan libido seksual sudah sangat mendominasi. Dorongan seksual inilah yang menjadi biang keladi hitam kelamnya hubungan tingkat ini. Bersalaman dan saling bergandeng tangan agaknya sudah menjadi pemandangan umum di kehidupan masyarakat kita, bahkan saling berciuman sudah menjadi tren pergaulan intim muda-mudi zaman sekarang. Inilah hubungan muda-mudi yang sekarang ini kita kenal dengan istilah "pacaran".

Malam minggu adalah malam surga bagi pasangan muda-mudi yang menjalin hubungan pada tingkatan ini. Mereka telah memiliki istilah yang sudah terkenal: "apel". Sang kekasih datang ke rumah kekasihnya. Ada kalanya apel hanya dilaksanakan di rumah saja, ada kalanya berlanjut pergi ke suatu tempat yang tidak diketahui lingkungan yang dikenalnya. Dengan begitu, mereka bebas melakukan apa saja atas dasar saling menyukai.

Al-Hakim meriwayatkan, "Hati-hatilah kamu dari bicara-bicara dengan wanita, sebab tiada seorang laki-laki yang sendirian dengan wanita yang tidak ada mahramnya melainkan ingin berzina padanya."

"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali dia berduaan dalam tempat sepi dengan seorang wanita, sedang dia dengan wanita tersebut tidak memiliki hubungan keluarga (mahram), karena yang ketiga dari mereka adalah setan." (HR Ahmad).

Ath-Thabarani meriwayatkan, Nabi saw. bersabda yang artinya, "Awaslah kamu dari bersendirian dengan wanita, demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, tiada seorang lelaki yang bersendirian (bersembunyian) dengan wanita malainkan dimasuki oleh setan antara keduanya. Dan seorang yang berdesakkan dengan babi yang berlumuran lumpur yang basi lebih baik daripada bersentuhan bahu dengan bahu wanita yang tidak halal baginya."

Ibnul Jauzi di dalam Dzamm ul-Hawa menyebutkan bahwa Abu Hurairah r.a. dan Ibn Abbas r.a. keduanya berkata, Rasulullah saw. berkhotbah, "Barang siapa yang memiliki kesempatan untuk menggauli seorang wanita atau budak wanita lantas dia melakukannya, maka Allah akan mengharamkan surga untuknya dan akan memasukkan dia ke dalam neraka. Barangsiapa yang memandang seorang wanita (yang tidak halal) baginya, maka Allah akan memenuhi kedua matanya dengan api dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam neraka. Barangsiapa yang berjabat tangan dengan seorang wanita (yang) haram (baginya) maka di hari kiamat dia akan datang dalam keadaan di belenggu tangannya di atas leher, kemudian diperintahkan untuk masuk ke dalam neraka. Dan barangsiapa yang bersenda gurau dengan seorang wanita, maka dia akan ditahan selama seribu tahun untuk setiap kata yang diucapkan di dunia. Sedangkan setiap wanita yang menuruti (kemauan) lelaki (yang) haram (untuknya), sehingga lelaki itu terus membarengi dirinya, mencium, bergaul, menggoda dan bersetubuh dengannya, maka wanitu itu juga mendapatkan dosa seperti yang diterima oleh lelaki tersebut."

Hubungan intim ini akan sampai pada puncaknya jika terjadi suatu hubungan sebagaimana layaknya yang dilakukan oleh suami istri.

Hubungan Suami-Istri

Agama Islam itu adalah agama yang tidak menentang fitrah manusia. Islam sangat sempurna di dalam memandang hal semacam ini. Manusia diciptakan oleh Allah SWT memiliki dorongan sek. Oleh karena itu, Islam menempatkan syariat pernikahan sebagai salah satu sunah nabi-Nya.

Hubungan sepasang kekasih mencapai puncak kedekatan setelah menjalin hubungan suami-istri. Dengan pernikahan, seseorang sesungguhnya telah dihalalkan untuk berbuat sesukannya terhadap istri/suaminya (dalam hal mencari kepuasan libido seksualnya: hubungan badan), asalkan saja tidak melanggar larangan yang telah diundangkan oleh syariat.

Kita tidak menyangkal bahwa di dalam kenyataan sekarang ini meskipun sepasang kekasih belum melangsungkan pernikahan, tetapi tidak jarang mereka melakukan hubungan sebagaimana layaknya hubungan suami-istri. Oleh karena itu, kita sering mendengar seorang pemudi hamil tanpa diketahui dengan jelas siapa yang menghamilinya. Bahkan, banyak orang yang melakukan aborsi (pengguguran kandungan) karena tidak sanggup menahan malu memomong bayi dari hasil perbuatan zina.

Jika suatu hubungan muda-mudi yang bukan mahram (belum menikah) sudah seperti hubungan suami istri, sudah tidak diragukan lagi bahwa hubungan ini sudah mencapai puncak kemaksiatan. Sampai hubungan pada tingkatan ini, yaitu perzinaan, banyak pihak yang dirugikan dan banyak hal telah hilang, yaitu ruginya lingkungan tempat mereka tinggal dan hilangnya harga diri dan agama bagi sepasang kekasih yang melakukan perzinaan. Selain itu, sistem nilai-nilai keagamaan di masyarakat juga ikut hancur.

Di dalam kitab Ibnu Majah diriwayatkan bahwa Ibnu Umar r.a. bertutur bahwa dirinya termasuk sepuluh orang sahabat Muhajirin yang duduk bersama rasulullah saw. Lalu, beliau mengarahkan wajahnya kepada kami dan bersabda, "Wahai segenap Muhajirin, ada lima hal yang membuat aku berlindung kepada Allah dan aku berharap kalian tidak mendapatkannya.

Pertama, tidaklah perbuatan zina tampak pada suatu kaum sehingga mereka melakukan terang-terangan, melainkan mereka akan tertimpa bencana wabah dan penyakit yang tidak pernah ditimpakan kepada orang-orang sebelum mereka.

Kedua, tidaklah suatu kaum mengurangi takaran dan timbangan, melainkan mereka akan tertimpa paceklik, masalah ekonomi, dan kedurjanaan penguasa.

Ketiga, tidaklah suatu kaum menolak membayar zakat, melainkan mereka akan mengalami kemarau panjang. Sekiranya tidak karena binatang, niscaya mereka tidak akan diberi hujan.

Keempat, tidaklah suatu kaum melakukan tipuan (ingkar janji), melainkan akan Allah utus kepada mereka musuh yang akan mengambil sebagian yang mereka miliki. kelima, tidaklah para imam (pemimpin) mereka meninggalkan (tidak mengamalkan Alquran), melainkan akan Allah jadikan permusuhan antarmereka." (HR Ibnu Majah dan Hakim).

"Semalam aku melihat dua orang yang datang kepadaku. Lantas mereka berdua mengajakku keluar. Maka aku berangkat bersama keduanya. Kemudian keduanya membawaku melihat lubang (dapur) yang sempit atapnya dan luas bagian bawahnya, menyala api, dan bila meluap apinya naik orang-orang yang di dalamnya sehingga hampir keluar. Jika api itu padam, mereka kembali ke dasar. Lantas aku berkata, 'Apa ini?' Kedua orang itu berkata, 'Mereka adalah orang-orang yang telah melakukan zina'." (Isi hadis tersebut kami ringkas redaksinya. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim).

Atha' al-Khurasaniy berkata, "Sesungguhnya neraka Jahanam memiliki tujuh buah pintu. Yang paling menakutkan, paling panas dan paling busuk baunya adalah pintu yang diperuntukkan bagi para pezina yang melakukan perbuatan tersebut setelah mengetahui hukumnya." (Dzamm ul-Hawa, Ibnul Jauzi).

Dengan mengetahui dampak negatif yang sangat besar ini, kita akan menyadari dan meyakini bahwa apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw. itu ternyata memang benar. Apabila seorang pemuda sudah siap untuk menikah, segerakanlah menikah. Hal ini sangat baik untuk menghindari terjadinya perbutan maksiat. Tetapi, jika belum mampu untuk menikah, orang tersebut hendaknya berpuasa. Karena, puasa itu di antaranya dapat menahan hawa nafsu.

"Wahai segenap pemuda, barang siapa yang mampu memikul beban keluarga hendaklah menikah. Sesungguhnya pernikahan itu lebih dapat meredam gejolak mata dan nafsu seksual, tetapi barang siapa belum mampu, hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu benteng (penjagaan) baginya." (HR Bukhari). (Abu Annisa)

Referensi:
1. Al-Qur'an al-Karim
2. Dzamm ul-Hawa, Ibnul Jauzi
3. Mauqiful Islam Minal Hubb, Muhammad Ibrahim Mabrouk
4. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
5. Shahih Bukhari
6. Shahih Muslim
7. 1100 Hadits Terplih: Sinar Ajaran Muhammad, Dr. Muhammad Faiz Almath

sumber : Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Himmah Seorang Da'i

Oleh : Musyaffa

Secara bahasa himmah biasa diartikan cita-cita. Namun bila kita dalami dan kita selami maknanya, ia bisa berarti sesuatu yang senantiasa hangat dan ada dalam pikiran kita. Di siang hari, ia senantiasa dipikirkan, di malam hari, ia terus diimpikan. Ia terus ada dan menyatu dengan jiwa, kemanapun pergi, ia selalu di bawa. Dimanapun berdiam, ia tidak lantas tiada. Ia terus mewarnai setiap langkah dan gerak, atau istilah shufi-nya: ia selalu muncul dalam setiap sakanat dan harakat kita. Himmah juga mempunyai keterkaitan dengan kata hamm yang bentuk jamak (plural)-nya adalah humum yang secara mudah biasa diterjemahkan: kesedihan. Ia memang demikian, artinya: seseorang yang mempunyai himmah sesuatu, ia akan terus merasa sedih dan tidak akan (bahkan tidak mau) mengecap sedikit kebahagiaan manakala apa yang menjadi himmah-nya itu belum kesampaian. Dan puncak kebahagiaannya adalah saat ia berhasil mewujudkan apa yang menjadi himmah-nya itu.

Bila da'wah telah kita definisikan sebaai upaya untuk mempengaruhi, dan mengajak mad-'u ke jalan Allah swt, jalan Islam, jalan nabi Muhammad saw, maka himmah seorang da'i bisa kita artikan sebagai kesedihan sang da'i dan ke-"tidak-mauannya" untuk mengecap sedikitpun kebahagiaan manakala belum berhasil membawa seorang manusiapun kepada jalan hidayah, jalan Allah swt, jalan para nabi, shiddiiqin, syuhada' dan shalihin. Ia baru merasa puas, bahagia, dan gembira manakalah telah berhasil menjadi penyebab terhidayahinya seorang manusia untuk memeluk Islam, hidup dengannya dan mati dengan tetap menyandang predikat muslim.

Namun, sebagai seorang muslim yang menyadari perannya sebagai ujung tombak khaira ummatin ukhrijat linnaas, yang salah satu karakternya adalah ta'muruuna bil ma'ruuf watanhauna 'anil munkar, himmah sang da'i itu tidak berhenti manakala telah sukses menjadi penyebab terhidayahinya satu orang. Himmah itu akan kembali muncul dalam dirinya dan akan terus muncul sehingga ia kembali kepada Allah swt.

Himmah seperti ini telah digambarkan oleh beberapa kisah yang ada di dalam Al Qur'an.

Diantaranya adalah kisah burung Hud-Hud-nya nabi Sulaiman 'alaihis-salam.

Al Qur'an menceritakan bahwa burung yang kecil itu, yang tidak mampu terbang jauh, telah melakukan perjalanan yang sangat jauh, dari Palestina (negeri nabi Sulaiman 'alaihis-salam) ke negeri Saba' di Yaman (negerinya ratu Bilqis). Ia telah lalui hamparan padang pasir yang sangat luas, yang tidak mungkin berani melampauinya kecuali ash-habul himam al 'aaliyyah (pemilih himmah tinggi). Jangankan seekor burung Hud-Hud, manusia saja ngeper dan berpikir berkali kali untuk mengarunginya. Bukankah yang akan dilewatinya adalah padang pasir, yang sangat panas, sedikit air, sedikit makanan, dan kekerasan-kekerasan alam lainnya. Namun dengan semangat membaja, sang burung kecil itu melakukan perjalanan sejauh itu, dengan satu tujuan: memberi informasi kepada nabi Sulaiman 'alaihis-salam tentang negeri-negeri lain, yang bisa jadi, ia akan menjadi penyebab berimannya penduduk negeri itu.

Karena jaraknya yang sangat jauh, dan tentunya membutuhkan waktu lama untuk menempuhnya, maka sang burung itu absen dan tidak menghadiri majlis nabi Sulaiman 'alaihis-salam dalam waktu yang cukup lama. Dan karena absen terlalu lama, ketidakmunculannya itu menjadi tanda tanya nabi Sulaiman 'alaihis-salam.

Singkat cerita, akhirnya sang burung kecil itu muncul juga dan menyampaikan informasi yang didapatnya.

Untuk membuktikan kebenaran informasinya, sang burung mesti terbang ke negeri itu sekali lagi. Sungguh, himmah yang luar biasa. Dan tidak sia-sia, penduduk negeri Saba' itu akhirnya tunduk kepada nabi Sulaiman dan meninggalkan kemusyrikannya. (Lihat kisah lengkapnya di QS An-Naml [27]: 16 - 44).

Ada lagi cerita lain yang tidak kalah menariknya. Kisah seorang lelaki, ya ... seorang lelaki, yang tidak dikenal, bahasa Al Qur'annya: Rojulun, yang datang dari aqshal madinah (wilayah kota yang paling ujung, paling jauh), yang datang dengan yas'a (berlari) demi memberikan pembelaan kepada rasul-rasul Allah swt. Dan karena pembelaannya itu ia dibunuh oleh kaumnya.

Di alam akhiratnya, ia merasakan betapa besar kenikmatan yang didapatkannya dari Allah swt. Lelaki yang dibunuh oleh kaumnya ini masih mengingat kaumnya, bukan dalam rangkan dendam, akan tetapi ... ungkapan empatinya yang sangat dalam kepada kaumnya, namun sayang, kaumnya tidak mengetahuinya. SubhanaLlah, sudah meninggal dunia, sudah di alam lain, himmah-nya sebagai da'i tidak padam juga. Sehingga meluncurlah kata-kata dari lisannya: ya laita qaumi ya'lamuun. Bima ghofaro li robbi wa ja'alani minal mukromin. (kisah lengkapnya silahkan lihat di QS Yaa siin [36]: 13 - 30).

Dari sirah Rasulullah saw kita juga bisa melihat betapa himmah beliau untuk menyelamatkan manusia dari neraka begitu tinggi.

Tersebut dalam kutubus-sunnah bahwa Rasulullah saw mempunyai seorang tetangga Yahudi. Sang Yahudi ini mempunyai seorang anak kecil. Sebagaimana layaknya anak kecil, anak Yahudi ini bisa bermain dekat rumah Rasulullah saw. Suatu ketika, Rasulullah saw tidak melihat anak Yahudi itu bermain. Maka beliau saw mencari informasi, apa yang terjadi pada anak Yahudi itu. Akhirnya beliau mengetahui bahwa anak Yahudi itu sedang sakit keras, dan mendekati sakaratul maut. Maka segeralah Rasulullah saw bersama beberapa sahabat bergegas ke rumah Yahudi itu dengan raut muka yang sangat sedih, campur tegang, campur cemas.

Sesampainya beliau di rumah Yahudi itu, dan setelah mendapatkan ijin untuk masuk, beliau langsung duduk di atas kepala anak Yahudi itu. Dengan wajah yang masih menampakkan kesedihan, ketegangan dan kecemasan, beliau men-talqin anak Yahudi itu agar mau mengucapkan dua kalimah syahadat. Mendapatkan talqin-an seperti itu, sang anak melihat kepada bapaknya, sebagai isyarat untuk meminta pendapat sang ayah yang Yahudi itu. Barang kali si Yahudi berfikir: apa maunya Muhammad (saw) dengan talqin ini? Bukankah sebentar lagi anak saya mati? Kalau maunya Muhammad (saw) adalah agar anak saya menjadi pengikut dan memperbanyak jumlah simpatisannya, kan sebentar lagi dia mati? Barangkali si Yahudi itu berpikir demikian (waLlahu a'lam). Yang jelas, sang ayah yang Yahudi itu kemudian berkata: "Athi' Abal Qasim (taati Muhammad saw yang biasa dipanggil Abul Qasim). Sang anak Yahudi itupun akhirnya mengucapkan dua kalimah syahadat, yang tidak lama kemudian meninggal dunia. Karena telah berhasil menyelamatkan anak itu dari ancaman neraka, Rasulullah saw-pun sangat gembira. Dan kegembiraan beliau itu bisa dilihat pada perubahan wajah beliau saw, dan pada ucapannya: al hamdulillahil-ladzi anqadzahu minan-naar (segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka).

Masyarakat kita mayoritas adalah masyarakat muslim, diantara mereka ada yang membutuhkan tastsbit (pengokohan), dzikro (pengingatan), nasehat dan semacamnya. Untuk menjalankan tugas-tugas ini, sangat-sangat dibutuhkan adanya orang-orang yang memiliki himmah 'aaliyyah (himmah yang sangat tinggi), karenanya, asahlah himmah kita, barangkali akan ada satu dua orang yang terhidayahinya kepada jalan Islam, jalan Allah swt, dan kitapun akan mengenyam besarnya ganjaran Allah swt di akhirat nanti insya Allah. Amiiien.

sumber : keadilan.or.id

Hasad (Kedengkian)

Rasulullah saw menggambarkan betapa tercelanya kedengkian itu dengan sabdanya: ”Kedengkian memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar”(HR.Ibnu Majah dari Anas)

Ketika seseorang mengharapkan lenyapnya nikmat dari orang yang didengki maka saat itu ia telah berlaku hasad, karena sesungguhnya kedengkian adalah membenci nikmat dan menginginkan lenyapnya nikmat itu dari orang yang mendapatkannya.

Bayangkanlah seandainya penyakit dengki ini telah menyebar luas dan setiap orang yang dengki mulai memperdaya setiap orang yang memiliki nikmat, maka pada saat itu tipu daya telah menyebar luas pula dan tidak seorangpun yang dapat selamat dari keburukannya, karena setiap orang adalah pembuat tipu daya dan juga diperdaya. Bayangkanlah bagaimana jadinya kehidupan manusia jika sudah demikian adanya.

Pantaslah jika Rasulullah saw pernah menyebut seseorang sebagai penghuni surga akan lewat di depan sahabat-sahabatnya, yang ketika kejadian itu berulang tiga kali dalam tiga hari Rasulullah menyebutnya sebagai seorang dari penghuni surga, dan ketika ditelusuri oleh Abdullah bin Amer bin al-Ash dengan bermalam di rumah orang tersebut selama tiga malam, ia tidak pernah melihat amalan orang tersebut yang berlebihan, bahkan orang itu juga tidak bangun malam, kecuali jika berbalik dari tempat tidurnya ia menyebut Allah, ia tidak bangun kecuali untuk shalat subuh, dan tidak pernah mendengarnya berkata kecuali kebaikan.

Bahkan hampir saja Abdullah meremehkan amalannya. Ketika Abdullah mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah telah bersabda begini dan begitu, kemudian ia bertanya : ”Apakah gerangan yang membuatmu mencapai tingkatan tersebut?"

Orang tersebut menjawab: ”Tidak ada apa-apa kecuali yang kamu lihat, hanya saja aku tidak punya rasa benci dan dengki kepada salah seorang pun dari kaum muslimin yang dikaruniai Allah kebaikan”.

Di sinilah Abdullah menemukan jawaban itu, ia berkata :”Itulah rupanya yang membuatmu mencapai tingkatan itu, dan itulah yang tidak mampu kami lakukan”.

Demikianlah nikmatnya jika kita dapat menghidarkan diri dari berlaku hasad pada orang lain yakni surga, yang sesungguhnya terlihat sangatlah sepele persoalannya meskipun sesungguhnya berat dalam pengamalannya.

Tapi cukuplah menjadi renungan kita bersama bahwasanya penyebab pembunuhan pertama kali di muka bumi ini terjadi yaitu anak Adam membunuh saudaranya adalah disebabkan oleh kedengkiannya pada saudaranya atas nikmat yang dimilikinya lalu kita bertanya masihkah kita harus mendengki?

Semoga kita termasuk orang yang dapat menghindarkan kedengkian (hasad) dari hati kita terutama terhadap orang-orang yang dekat dengan kita, apakah ia saudara, tetangga kita, atau teman dalam pergaulan dan pekerjaan serta pada seluruh kaum muslimin. Wallahu a'lam. (Disarikan dari kitab Al-Mustakhlash fii Tazkiyatil Anfus, oleh Sa'id Hawwa)

sumber : Buletin Tafakur

Ukhuwah: Hal-hal yang Merusak Ukhuwah


 

"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu…." (Al-Hujurat: 10)

"Dan kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada di dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan."(Al-Hijr: 47).

Berapa banyak kehidupan yang berubah menjadi keras ketika ikatan persaudaraan telah pupus, ketika sumber-sumber kecintaan karena Allah telah kering, ketika individualisme telah menggeser nilai-nilai persaudaraan, saat itu setiap individu berada dalam kehidupan yang sulit, merasa terpisah menyendiri dari masyarakatnya.

Kebanyakan manusia pada umumnya, perilaku mereka telah tercemari oleh hal-hal yang dapat merusak persaudaraan, yang terkadang mereka menyadari hal tersebut, dan terkadang tidak menyadarinya. Oleh sebab itu, kami akan mencoba memaparkan beberapa hal yang dapat merusak persahabatan dan persaudaraan. Sebelumnya, akan kami kemukakan terlebih dahulu beberapa hadis dan perkataan para ulama' salaf mengenai hubungan persaudaraan.

Dalam sebuah hadis yang menerangkan tentang tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah di hari tiada naungan kecuali naungan Allah, Rasulullah menyebutkan salah satu di antaranya adalah, "Dan dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah karena-Nya."(HR Bukhari dan Muslim). Dan di dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman, "Orang-orang yang saling mencintai karena-Ku, berhak atas kecintaan-Ku…."(HR Malik dan Ahmad).

Muhammad bin Munkadir ketika ditanya tentang kenikmatannya dalam kehidupan ini, beliau menjawab, "Ketika bertemu dengan saudara-saudara (sahabat-sahabat), dan membahagiakan mereka."

Al-Hasan berkata, "Kami lebih mencintai sahabat-sahabat kami dari pada keluarga kami, karena sahabat-sahabat kami mengingatkan kami akan kehidupan akherat, sedangkan keluarga kami mengingatkan kami akan kehidupan dunia."

Khalid bin Shafwan berkata, "Orang yang lemah adalah yang sedikit menjalin persaudaraan."

Perhatikanlah beberapa perkataan di atas, baik dari ayat-ayat Allah, hadis, maupun perkataan para ulama, kemudian lihatlah pada kenyataan tentu akan menunjukkan kebenarannya. Siapakah yang menolongmu untuk mampu tetap teguh memegangi hidayah? Siapakah yang meneguhkan kamu untuk tetap istiqamah? Siapakah yang menemani kamu ketika dirundung bencana dan malapetaka? Karena itu Umar pernah berkata, "Bertemu dengan para ikhwan bisa menghilangkan kegalauan dan kesedihan hati."

Jika demikian, bagaimana mungkin seorang yang berakal akan mengesampingkan ukhuwah dan lebih memilih kehidupan yang kacau dan carut marut.

Hal-hal yang dapat merusak ukhuwah, di antaranya adalah :

1. Tamak dan rakus terhadap dunia, terhadap apa-apa yang dimiliki orang lain.

Rasulullah saw. Bersabda, "Zuhudlah terhadap dunia, Allah akan mencintai kamu. Zuhudlah terhadap apa yang dimiliki oleh manusia, mereka akan mencintai kamu."(HR Ibnu Majah).

Jika kamu tertimpa musibah, mintalah musyawarah kepada saudaramu dan jangan meminta apa yang engkau butuhkan. Sebab jika saudara atau temanmu itu memahami keadaanmu, ia akan terketuk hatinya untuk menolongmu, tanpa harus meminta atau meneteskan air mata.

2. Maksiyat dan meremehkan ketaatan.

Jika di dalam pergaulan tidak ada nuansa dzikir dan ibadah, saling menasehati, mengingatkan dan memberi pelajaran, berarti pergaulan atau ikatan persahabatan itu telah gersang disebabkan oleh kerasnya hati dan hal itu bisa mengakibatkan terbukannya pintu-pintu kejahatan sehingga masing-masing akan saling menyibukkan diri dengan urusan yang lain. Padahal Rasulullah saw. Bersabda, "Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak mendzoliminya dan tidak menghinakannya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, Tidaklah dua orang yang saling mengasihi, kemudian dipisahkan antara keduanya kecuali hanya karena satu dosa yang dilakukan oleh salah seorang dari keduanya."(HR Ahmad).

Ibnu Qayim, dalam kitab "Al-Jawabul Kafi" mengatakan, "Di antara akibat dari perbuatan maksiyat adalah rasa gelisah (takut dan sedih) yang dirasakan oleh orang yang bermaksiyat itu untuk bertemu dengan saudara-saudaranya."

Orang-orang ahli maksiyat dan kemungkaran, pergaulan dan persahabatan mereka tidak dibangun atas dasar ketakwaan melainkan atas dasar materi sehingga akan dengan mudah berubah menjadi permusuhan. Bahkan hal itu nanti akan menjadi beban di hari kiamat. Allah swt. Berfirman, "Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa."(Az-Zukhruf: 67). Sedangkan persahabatan karena Allah, akan terus berlanjut sampai di surga, "…sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan."(Al-Hijr: 47).

3. Tidak menggunakan adab yang baik (syar'i) ketika berbicara.

Ketika berbicara dengan saudara atau kawan, hendaknya seseorang memilih perkataan yang paling baik. Allah berfirman, "Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, 'hendaklah mereka mengucapkan kata-kata yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia'."(Al-Isra: 53).

Dalam sebuah hadis Nabi saw. Bersabda, "Kalimah thayibah adalah shadaqah."(HR Bukhari).

4. Tidak memperhatikan apabila ada yang mengajak berbicara dan memalingkan muka darinya.

Seorang ulama salaf berkata, "Ada seseorang yang menyampaikan hadis sedangkan aku sudah mengetahui hal itu sebelum ia dilahirkan oleh ibunya. Akan tetapi, akhlak yang baik membawaku untuk tetap mendengarkannya hingga ia selesai berbicara."

5. Banyak bercanda dan bersenda gurau.

Berapa banyak orang yang putus hubungan satu sama lainnya hanya disebabkan oleh canda dan senda gurau.

6. Banyak berdebat dan berbantah-bantahan.

Terkadang hubungan persaudaraan terputus karena terjadinya perdebatan yang sengit yang bisa jadi itu adalah tipuan setan. Dengan alasan mempertahankan akidah dan prinsipnya padahal sesungguhnya adalah mempertahankan dirinya dan kesombongannya. Rasulullah saw. Bersabda, "Orang yang paling dibenci di sisi Allah adalah yang keras dan besar permusuhannya."(HR Bukhari dan Muslim). Orang yang banyak permusuhannya adalah yang suka menggelar perdebatan, adu argumen dan pendapat.

Tetapi debat dengan cara yang baik untuk menerangkan kebenaran kepada orang yang bodoh, dan kepada ahli bidah, hal itu tidak masalah. Tetapi, jika sudah melampaui batas, maka hal itu tidak diperbolehkan. Bahkan jika perdebatan itu dilakukan untuk menunjukkan kehebatan diri, hal itu malah menjadi bukti akan lemahnya iman dan sedikitnya pengetahuan.

Jadi, bisa saja dengan perdebatan ini, tali ukhuwah akan terurai dan hilang. Sebab masing-masing merasa lebih lebih kuat hujjahnya dibanding yang lain.

7. Berbisik-bisik (pembicaraan rahasia)

Berbisik-bisik adalah merupakan hal yang sepele tetapi mempunyai pengaruh yang dalam bagi orang yang berfikiran ingin membina ikatan persaudaraan.

Allah swt. Berfirman, "Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari setan, supaya orang-orang yang beriman berduka cita…."(Al-Mujadalah: 10).

Rasulullah bersabda, "Jika kalian bertiga, maka janganlah dua orang di antaranya berbisik-bisik tanpa mengajak orang yang ketiga karena itu akan bisa menyebabkannya bersedih."(HR Bukhari dan Muslim).

Para ulama berkata, "Setan akan membisikkan kepadanya dan berkata, 'Mereka itu membicarakanmu'." Maka dari itu para ulama mensyaratkan agar meminta idzin terlebih dahulu jika ingin berbisik-bisik (berbicara rahasia).

sumber : diadaptasi dari tulisan berjudul Hal-hal yang Merusak Ukhuwah karya Syaikh Saad Al-Ghinaam.

Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia

Jumat, 20 Januari 2012

Menuntut Ilmu: Hal-hal yang Mesti Dihindari dalam Menuntut Ilmu


Ada beberapa hal yang harus dihindari oleh seorang penuntut ilmu, karena perkara-perkara tersebut ibarat penyakit ganas yang menjangkiti seorang pasien. Jika tidak menghindarinya, maka ia akan binasa.

1. HasadYaitu membenci apa yang Allah karuniakan atas seorang hamba. Hampir tidak seorangpun yang lepas dari sifat ini. Maka jika sifat ini melekat pada seseorang, diwajibkan atas manusia untuk tidak berbuat jahat kepadanya dengan perkataan atau perbuatan.

2. Berfatwa tanpa ilmuFatwa adalah kedudukan yang agung. Oleh karenanya, tidak boleh sembarangan dilakukan kecuali oleh pribadi yang benar-benar pantas. Imam Ahmad berkata, “Sesungguhnya orang yang berfatwa kepada manusia, ia telah membawa urusan yang besar. Semestinya orang yang berfatwa mengetahui pendapat-pendapat ulama yang terdahulu. Kalau tidak, jangan berfatwa. Barangsiapa berbicara pada sesuatu yang dia tidak memiliki sandaran atas hal tersebut, saya khawatir dia akan salah.”

3. SombongNabi SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga siapa yang terdapat dalam hatinya seberat dzarrah (atom) dari kesombongan.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan seseorang yang suka bajunya bagus dan sandalnya bagus?" Nabi SAW menjawab, “Sesungguhnya Allah indah dan mencintai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia." (Shahih, HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud)

4. Ta’ashubYaitu fanatik baik kepada golongan, guru, kelompok, organisasi tertentu, syiar tertentu atau yang semacamnya. Karena hal ini adalah syiar atau ciri khasnya ahlul bid’ah yang menyimpang dari jalan Nabi SAW, yang merupakan sifat tercela apalagi pada seorang penuntut ilmu. Seorang penuntut ilmu syar’I semestinya menjadikan ittiba’ kepada Nabi Saw sebagai syiar yang selalu ia junjung tinggi, ia jadikan syiar itu sebagai landasannya dalam berwala’ (loyalitas) dan berbara’ (berlepas diri).

5. TashaddurYaitu tampil sebelum waktunya, karena hal ini menunjukkan kebanggaannya pada diri sendiri dan ketidaktahuannya pada banyak permasalahan. Ini akan mengakibatkan dia terjerumus kepada dosa yang besar yaitu berkata tentang agama Allah tanpa ilmu yaitu mengatakan sebuah hukum dengan mengatasnamakan ini adalah hukum Allah SWT tanpa dilandasi ilmu yang benar dan akan membawa dia kepada sifat sombong.

6. Bersu’udzonAtau berburuk sangka kepada yang lain. “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian dari banyak sangkaan. “ (QS. Al Hujuraat;79)


sumber :Kitabul Ilmi Dikutip dari majalh Asy-Syariah

Hakikat Cinta Dan Benci

 Oleh : Yusuf Burhanudin*
Cinta (al-mahabbah) dan benci (al-karâhah), merupakan fitrah emosional yang dianugerahkan Allah SWT pada seluruh manusia. Bagi seorang Muslim, cinta dan benci itu harus berdasarkan proporsionalisasi syarî’at. Karena, bisa jadi, apa yang kita cintai itu justru sesuatu yang buruk, dan sebaliknya membenci sesuatu yang sebetulnya baik buat kita (Qs.2:216). Jika tidak demikian, betapa banyak orang yang akan menjadi korban akibat tidak tahu menempatkan arti cinta dan benci ini.

Dalam Islam, cinta seseorang haruslah berlandaskan kepengikutan (ittiba’) dan ketaatan. Sebagaimana firman-Nya, "Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu" (Qs.3:31-32).

Salah satu cinta yang diajarkan Rasulullah SAW. diantaranya adalah, mencintai dan mengasihi sesama. Kecintaan ini, sebagaimana pernah dicontohkan beliau, tak pernah dibedakan antara Muslim dan non-Muslim. Bahkan, tidak dibenarkan jika kita tidak berbuat adil kepada suatu kaum misalnya, hanya karena benci kepada mereka (Qs.5:8).

Ajaran cinta Islami yang mesti disemaikan bukanlah sebatas sesama Muslim. Tetapi justru sesama manusia dan sesama makhluk. Rasulullah SAW. bersabda, "Hakikat seorang Muslim adalah, mencintai Allah dan Rasul-nya, sesamanya, serta tetangganya, melebihi atau sebagaimana ia cinta kepada dirinya sendiri" (HR. Imâm Bukhârî).

Kecintaan yang terekspresikan akan menjadi amal saleh buat pelakunya. Maka dari itu, kecintaan maupun kebaikan, meskipun baru tersirat dalam hati dan belum terlaksana, tetap akan mendapat pahala di sisi Allah. Sebaliknya, kebencian yang tersimpan dalam lubuk hati di samping sebuah kewajaran, juga tidak dicatat sebagai keburukan, hingga niatnya itu betul-betul dilakukan (al-Hadits).

Ekspresi sebuah kebencian tak lain sikap hasud yang dilarang Islam. Hasad adalah iri dan bersikap dengki terhadap orang atau kelompok lain, bahkan sebisa mungkin, berupaya menjatuhkan dan menghilangkan semua kepemilikan seseorang yang dianggap lawannya itu. Dari sini hasud berubah wujud menjadi hasutan, bagaimana merekayasa isu dan gosip tanpa fakta untuk turut meyakinkan orang lain, agar sama-sama membenci bahkan menganiaya orang atau kelompok tertentu.

Benci yang hasud seperti di atas dilarang Rasulullah SAW, sabdanya, "Jauhilah oleh kalian sikap hasud, karena hasud itu niscaya akan memakan amal kebaikanmu layaknya api menghanguskan kayu bakar" (HR. Abû Dâwûd).

Wajah seorang muhâsid (pelaku hasud) tak lain seorang provokator yang senang mengadu-domba antarsesama, menabur fitnah, serta wujud dari kerja sama dalam menebar dosa (al-itsm) dan permusuhan (al-‘udwân). Mereka diancam Nabi SAW. tidak akan masuk surga, karena mencoba memutuskan pertalian kasih dan sayang antarsesama manusia (HR. Bukhârî-Muslim).

Dalam konteks Islam, shilat-u ar-rahmi (shilah, menghubungkan; dan rahmi, berasal dari rahim yang sama) merupakan keharusan menyemaikan perdamaian dan keharmonisan hidup antarinsan. Inilah inti rahmat-an lil-‘âlamîn; mencintai dan membenci karena Allah akan mendatangkan rahmat, sebaliknya, jika sesuai seleranya sendiri, terancam kepedihan azab-Nya. Dalam arti, tidak turunnya rahmat dan bertaburnya benih-benih perpecahan dan perselisihan (Bulûghu ‘l-Marâm, 2000; 496).**

Agar kecintaan tumbuh dan bersemai dalam diri setiap insan, Rasulullah mengajarkan, "Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam (kedamaian), berilah makan orang yang membutuhkan, sambungkanlah tali persaudaraan, dan shalatlah Tahajjud pada sepertiga malam (introspeksi), niscaya kamu akan masuk surga dengan damai" (HR. Imâm Tirmidzî).

Demikian sebaik-baik kecintaan dalam Islam. Kedamaian ditebarkan untuk dan kepada siapa pun. Seorang muslim sejati ialah apabila, orang lain selamat dari ulah lisan, tangan, maupun kewenangannya (Fath-u al-Bârî I; 76-86). Wallâhu a’lam.

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Syarî’ah wa al-Qânûn (Islamic Law and Juriprudence Faculty), al-Azhar University, Cairo-Egypt.
** Dari Anas ra. Allah berfirman, Rasulullah Saw. bersabda, "Barangsiapa yang menahan amarahnya, maka Allah akan menahan azab-Nya" (HR. Thabrânî, Bulûghu ‘l-Marâm, Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, Dâr-u Ibn-u Hazm: 2000, hal. 496).



sumber : pesantrenvirtual.com

Haji dan Amanah Sosial

 
  Oleh : Yusuf Burhanudin*

 
Tak ada yang sangsi, balasan ibadah haji Mabrûr adalah surga. Mabrûr yang secara bahasa berarti baik dan dianggap sah, tidak saja cukup terkumpul padanya rukun dan syarat. Namun juga, dan ini yang lebih penting, adalah memiliki implikasi sosial terhadap pelakunya. Sebagaimana disinyalir Prof. Dr. Abdul Fatah Mahmud Idris, dalam suatu pengabdian (al-'ibâdah), mesti terkumpul di dalamnya tiga aspek: spirit (niat), ritus (praktek) dan pengaruh/hikmah (sosial). Demikianlah keharusan pelibatan tiga aspek tersebut, agar selanjutnya kita tidak terjebak dalam menangkap makna ibadah haji secara parsial.

Ibadah haji bukanlah produk budaya yang bisa dianggap sahih atas pertimbangan pandangan dan kebiasaan kebanyakan orang. Ibadah haji bukan pula sekedar raihan gelar atau rihlah (bepergian) spiritual, hanya untuk melihat aura ka'bah dan jejak-jejak peninggalan para teladan sepanjang zaman. Ia memiliki pertanggungjawaban ekstatologis (ukhrâwî) sekaligus mengemban amanah sosial (ardlî).

Betapa filosofi rukun Islam menempatkan ibadah haji sebagai kewajiban klimaks seorang Muslim. Dalam gizi makanan, haji ibarat minuman penyempurna setelah empat kewajiban sebelumnya. Ia disimpan sebagai rukun terakhir setelah pengorbanan lisan melalui kesaksian (syahâdah), pengorbanan waktu melalui kewajiban shalat, pengorbanan harta dengan keharusan zakat. Inilah kenapa istilah manâsik yang berarti pengorbanan, selalu digandengkan dengan ibadah haji. Tiada lain, dalam menunaikan ibadah ini senantiasa menuntut aneka pengorbanan yang selanjutnya mesti membekas pada perilaku kemanusiaannya.

Namun demikian, setelah ibadah haji, tidak berarti selesai segala-galanya. Ia, justru menjadi pintu gerbang awal menuju ibadah dan pembinaan kesalehan sosial lainnya (jihâd). Ibadah haji disebut klimaks, karena ia menjadi penutup kewajiban pengabdian seorang Muslim secara individual, bukan kewajiban sosial. Pendeknya, dari individu ke masyarakat.

Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah Saw. pernah ditanya, "Amal apakah yang paling utama?" Rasul menjawab, "Iman kepada Allah dan Rasul-Nya". "Kemudian apa?", "Jihad dijalan Allah". "Kemudian apa lagi?", "Haji Mabrûr".

Haji bukanlah gengsi maupun prestasi sosial, melainkan gengsi kualitas kemanusian. Ia menjadi puncak kedewasaan mental-spiritual seorang manusia, karena yang dituju adalah Ibrahim as. sebagai Bapak manusia berkualitas (al-hanîf) sekaligus peletak pertama ibadah ini.

Karenanya, hampir dalam setiap ibadah, tak terkecuali haji, tujuannya adalah meraih ketakwaan (QS.2: 21). Secara vertikal dan horizontal, takwa bisa dimaknai sebagai sikap dan mental manusiawi dalam rangka menundukan diri terhadap perintah Allah Swt. Inilah hasil dari pendidikan suatu ibadah. Dari hati (al-niyyat) turun ke praktik fisik secara lahir (manâsik), kemudian menjelma menjadi sebentuk sikap sosio-relijius (al-Taqwâ).

Haji yang mabrûr adalah haji yang tidak peduli simbol-simbol budaya kosmetik dan yang mengindividu, melainkan sebuah dorongan murni peningkatan kualitas kemanusiaan seseorang baik secara individu maupun sosial. Dan, sebagai rukun terakhir bagi kesempurnaan seorang Muslim, ibadah haji menjadi titik untuk mempertemukan sinergisasi keduanya; kewajiban individual sekaligus amanah sosial. Inilah haji mabrûr yang maqbûl, yang pahalanya diterima di sisi Tuhan. Wallâhu a’lam.

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Syarî’ah wa al-Qânûn (Islamic Law and Juriprudence Faculty), al-Azhar University, Cairo-Egypt.


sumber : pesantrenvirtual.com

Fitrah Manusia

 Oleh : Dr KH Didin Hafidhuddin, Msc

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetapkanlah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Ituah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tldak mengetahui," (QS ar-Ruum: 30).

Dalam ayat tersebut terdapat dua kata fitrah, yaitu "fitrah Allah" dan "fitrah manusia" yang keduanya merupakan ciri utama ajaran Islam. Ajaran Islam selalu selaras dengan nilai-nilai dasar kemanusiaan dan kebutuhan umat manusia.

Keduanya berasal dari Allah SWT. Karena itu, tidak mungkin terdapat pertentangan antara ajaran Islam dengan nilai-nilai kemanusiaan, kapan dan di mana pun.

Ajaran Islam juga bersifat 'alamiyyah (universal), tidak terbatas oleh ruang, waktu dan kesatuan umat manusia. Allah SWT berfirman, "Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui," (QS as-Saba: 28)

Selain itu, ajaran Islam pun bersifat insaniyah dan syumuliyyah (komperehensif), yaitu mencakup seluruh segl kehidupan umat manusia. Jlka diamalkan dengan penuh kesungguhan, akan melahirkan kehidupan umat manusia yang adil, sejahtera dan damai.

Ketika mentafsirkan firman Allah dalam surah ar-Rum ayat 30 itu, Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam Shafwatut-Tafasir menyatakan, hendaknya setiap manusia menghadapkan dirinya secara ikhlas pada ajaran Islam yang hak. Allah SWT menciptakan fitrah manusia sejalan dengan ajaran Islam yaug berintikan tauhid. Seperti dinyatakan dalam hadits riwayat Imam Bukhari, setiap manusia dilahirkan dalam kondisi fitrah (bertauhid).

Setelah itu, tergantung pada kedua orang tuanya, apakah akan menjadikannya Yahudi, Nashrani ataukah Terjadinya penyimpangan dan penyelewengan terhadap fitrah tauhld disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:

Pertama, ketidaktahuan manusia terhadap ajaran Islam (al-jahl). Mereka menganggap bahwa ajaran Islam memberatkan kehidupan dan hanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat ritual dan pribadi saja. Tidak ada kaitan antara ajaran Islam dengan kegiatan ekonomi, sosial, politik, budaya. keluarga, hubungan intemasional, dan lain-lain.

Kondisi semacam ini akan menyebabkan timbulnya sikap meminggirkan ajaran Islam dari tengah kehidupan. Akhimya logika dan hawanafsu dikedepankan, seperti yang kerap terjadi saat ini. Pada ujungnya, hal ini akan melahirkan kehancuran umat. Jauh hari, al-Our'an telah mengisyaratkan hal ini, "Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sehagian dari akibat perbuatan mereka,agar mereka kembali ke jalan yang benar,"(QS ar-Ruum: 41)

Kedua, yaitu pengingkaran terhadap pemberlakuan aj'aran Islam dalam menata kehidupan akibat kesombongan (al-ma'shi yah wal kibr). Seperti halnya Iblis yang menolak perintah Allah untuk sujud hormat kepada Adam karena merasa dirinya lebih baik daripada Adam. Akibat kesombongannya itu, iblis dijadikan sebagai makhluk yang terkutuk sepanjang hayatnya di dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman, "Apakah yang inenghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktuAku munyumhmu' Menjawab Iblis: 'Saya lebih baik dahpadanya. Engkau ciptakanku daii api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah." Allah berfirman, '7urunlah kamu dari surga itu, karena kamu lidak sepatutnya Menyombongkan diri didalamnya, maka keluarlah. Sesungguhnya kam temiasuk orang-orang yang hina," (QS al-A'raf: 12-13).

Manusia maupun bangsa yang sombong dan menolak ketentuan Allah akan mendapatkan nasib yang sama seperti yang dialami Iblis. Sebab, Allah sangat membenci dan menjauhkan hidayah-Nya terhadap orang atau bangsa yang sombong (QS al-A'raf: 146).

Ibadah-ibadah yang disyariatkan ajaran Islam seperti puasa Ramadhan, salah satu tujuan utamanya adalah mempertahankan nilai-mlai kemanusiaan dan fitrah pada setiap manusia Muslim. Dengan puasa, manusia dilatih mengekang hawa nafsu kebinatangannya, seperti serakah dan rakus. Dengan puasa, manusia juga disadarkan pada jati dirinya yang lemah, yang membutuhkan pertolongan Dzat yang menciptakannya.

Karena itu, dengan puasa yang dilakukan benar, manusia akan memiliki kerendahan hati untuk mengamalkan segala ketentuan Allah SWT dalam menata kehidupannya. Hal ini akan mendorong manusia mempelajari ajaran-Nya, sehingga praktik agama dilandasi oleh pengetahuan yang benar. Sebuah paduan ilmu dan amal yang terbingkai oleh nilai-nilai keimanan dan keikhlasan akan menyebabkan terjaganya fitrah manusia, Allah SWT berfirman, "Dan Vdaklah mereka diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memumikan (mengikhlaskan) ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus. Mereka menegakkan salat dan menunaikan zakat, dan itulah agama yang benar," (QS al-Bayyinah: 5).

Karena itu, pasca Ramadhan seharusnya orang-orang yang berpuasa akan lebih meningkat kualitas keimanan dan ketakwaannya (QS al-Baqarah: 183). Menarik pula kaitan pasca Ramadhan ini terutama dalam Idul Fitri. Pernyataan seorang ahli hikmah berikut ini menarik untuk disimak ‘Bukanlah lebaran itu bagi orang yang semata memakai pakaian baru, tapi bagi mereka yang ketaatannyasemakin bertambah." Wallahu a'lam.

Dulu pion, Karena Cinta Jadi Ster

Dalam dunia catur, rakyat jelata atau wong cilik digambarkan sebagai pion. Namun, jika ia mau berjihad, dengan resiko yaqtuluuna auw yuqtaluuna, menghadapi dan berhadapan dengan siapapun yang dia temui, tanpa mempedulikan, apakah yang dihadapinya itu pion, atau kuda, atau menteri ataupun beteng, bahkan ster dan raja sekalipun, dan ia terus berjihad dan berusaha untuk mencapai titik terjauh di daerah lawan, maka naiklah pangkatnya, bisa jadi kuda, atau beteng, atau menteri, ataupun ster. Hanya saja dalam dunia ster ada satu bentuk feodalisme dan kenakalan sistem yang tidak bisa didobrak, yaitu: pion tidak boleh menjadi raja, dan raja tidak boleh mati, kecuali setelah seluruh bala tentara dan pembatunya mati dan habis semua.

Bagaimana dengan dunia pergerakan Islam dan da'wah? Adakah "seorang pion" yang berubah menjadi ster? Kalau ada, siapakah dia?

Tersebutlah dalam kitab-kitab tarajim (buku-buku yang khusus membahas biografi), misalnya kitab al Ishabah fi tamyiizish-shahabah, karya: Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, ada seorang sahabat yang dikenal dengan panggilan : Dzul Bijadaini. Nama aslinya adalah Abdullah bin Abdi Nahm bin 'Afif bin Suhaim bin 'Adiy bin Tsa'labah bin Sa'ad Al Muzani, dari suku Muzainah. Dulunya bernama 'Abdul 'Uzza. Oleh Rasulullah saw kemudian diganti dengan Abdullah.

Abdullah Dzul Bijadain adalah seorang anak yatim. Ia diasuh oleh pamannya. Sang paman ini sangat baik kepadanya. Segala kebutuhan Abdullah dipenuhi olehnya, sandang, pangan, papan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Namun, saat sang paman ini mendengar bahwa Abdullah telah memeluk Islam, sang paman-pun marah. Ia hentikan segala kebaikan yang selama ini telah ia berikan kepada keponakannya. Bahkan, baju yang dipakai oleh Abdullah-pun harus dilepaskannya, sehingga ia telanjang. Oleh ibunya yang sangat miskin, ia diberi Bijad, selembar kain yang sangat tebal dan sangat kasar. Agar auratnya tertutup, Bijad pemberian ibunya itu dia potong menjadi dua, yang satu dikenakannya sebagai baju, dan selembarnya lagi dia kenakan sebagai sarung.

Esok harinya, dia datang kepada Rasulullah saw. Melihat penampilannya yang seperti itu, Rasulullah saw bersabda: "Engkau adalah Abdullah Dzul Bijadain. Maka, tetaplah berada di pintu rumahku". Abdullah pun konsisten dan komitmen untuk tetap berada pada pintu rumah Rasulullah saw. Dari sinilah ia terkenal dengan panggilan Dzul Bijadain.

Ibnu Mas'ud RadhiyaLlahu 'anhu bercerita: "Pada suatu malam, di tengah kegelapan dan tegangnya suasana perang tabuk, saya melihat nyala api dari kejauhan. Saya datangi api itu. Ternyata di sana ada Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu 'anhuma. Dan ternyata Abdullah Dzul Bijadain telah meninggal dunia. Dan ternyata pula mereka telah menggali lubang untuknya. Saya lihat Rasulullah saw telah berada di dalam lubang. Sedangkan dua sahabat dekat beliau itu yang menurunkan mayat Abdullah ke dalam lubang. Rasulullah saw bersabda: "Turunkan ke sini mayat saudaramu itu". Lalu Rasulullah saw menerima dan menangkap mayat Abdullah itu. Setelah meletakkan mayat Abdullah pada posisinya, Rasulullah saw bersabda: "Ya Allah, sesungguhnya saya memasuki sore hariku dalam keadaan ridha kepadanya (Abdullah), karenanya, ridhailah dia".

Mendengar do'a Rasulullah saw yang seperti itu, Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu 'anhu berkata: "Kalau saja sayalah mayit yang berada di dalam lubang itu". Angan-angannya. (Kisah aslinya bisa dlilihat di kitab Al Ishabah Bab huruf 'ain dan Al Bidayah wan-Nihayah pada pembahasan perang Tabuk).

Berkenaan dengan kisah Dzul Bijadain, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah berkata : "Dulunya Dzul Bijadain adalah seorang anak yatim. Ia ditanggung hidupnya oleh pamannya. Namun jiwanya terasa terus tersedot untuk mengikuti Rasulullah saw. Himmah-nya pun bangkit, namun, sisa penyakitnya menghambatnya untuk membangkitkan badannya, sehingga iapun terduduk sambil menunggu pamannya.

Setelah kesehatannya sempurna, habislah kesabarannya. Nurani cintanya-pun seakan berkata kepadanya :Sampai kapan jiwa ini tertahan dan mengeluhkan adanya penyempitan. Barangkali setelah itu ada jalan untuk memenuhinya.

Maka iapun berkata kepada pamannya: "Wahai pamanku, telah lama aku menunggu keislamanmu, namun, saya lihat engkau tidak segera bangkit untuk memeluk Islam". Maka sang pamanpun berkata: "sungguh, demi Allah, jika engkau masuk Islam, maka segala yang pernah saya berikan akan saya cabut".

Mendengar gertakan pamannya seperti itu, lisan kerinduannya-pun menjerit: "Sekali memandang Muhammad saw lebih aku cintai daripada dunia dengan segala isinya".

Persis dengan kisah Qais yang sudah tergila-gila dengan Laila yang diungkapkan oleh si Qais kepada Laila sendiri:

Seandainya dikatakan kepada si gila: "Kamu pilih mana, dunia dengan segala isinya atau Laila dengan cintanya? Pastilah ia berkata: "Sebutir debu dari sandal Lalila bagiku lebih lezat bagiku dan lebih memikat.

Pada saat ia telah bertekad bulat untuk berangkat menemui Rasulullah saw, pamannya-pun menelanjanginya, lalu ibunya yang fakir memberinya Bijad, lalu, Bijadb itu dibelahnya menjadi dua, satu potong untuk baju dan satu potong sebagai sarung, demi melanjutkan perjalanan cinta untuk menemui sang kekasih (Rasulullah saw).

Saat ada panggilan jihad, ia cukup puas berada di barisan paling belakang para kekasih nabi itu, dan sebagai orang orang yang sedang mencintai. Orang yang sedang merasakan cinta, jauhnya perjalanan tidaklah menjadi masalah dan pertimbangan, karena tujuan itulah yang menolong dan membantunya.

Saat meninggal dunia, Rasulullah saw-lah yang menggali lubangnya, beliau juga yang memasukkannya ke dalam liang kubur, sambil bersabda: "Ya Allah, sesungguhnya saya memasuki sore hariku dalam keadaan ridha kepadanya (Abdullah), karenanya, ridhailah dia".

Mendengar sabda Rasulullah saw seperti itu, Abdullah bin Mas'ud berkata: "Ooh, kalau saja sayalah mayit yang dikubur itu!

Kata Ibnu Qayyim Al Jauziyyah: "Wahai pemilik 'azam (tekad) yang banci, ketahuilah, yang paling kecil dalam catur adalah pion, namun, saat ia bangkit, iapun menjadi ster". (Al Fawaid, hal: 69 – 70).

Saya yakin, banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah ini, saya tidak akan menyebutkannya satu persatu, akan tetapi, renungkanlah, hayatilah dan cobalah pahami apa yang tersurat dan yang tersirat dari kisah ini, lalu cobalah laksanakan sampai batas akhir kemampuan kalian.

Semoga Allah swt memberikan taufiq, hidayah dan 'inayah-Nya kepada kita, untuk menggapai ridha-Nya, amiiien.

sumber : keadilan.or.id

Dua Kelompok Ulama

Allah SWT berfirman yang artinya, "Katakanlah, 'Inilah jalanku (agamaku), aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik'." (Yusuf: 108).

Rasulullah saw. berdakwah kepada umatnya, mengajak untuk mengikuti agamanya yang lurus. Rasulullah menyampaikan syiar dakwahnya dengan kata-katanya dan apa-apa yang dibawanya termasuk penyampaian pengertian-pengertiannya. Berdasarkan hal tersebut, lama dibagi menjadi dua golongan, yaitu ulama pemelihara hadis dan ulama ahli fikih.

Pertama, Pemelihara Hadis

Kelompok ulama yang pertama adalah para pemelihara hadis yang menjaga, memelihara, mengamalkannya, dan para pemimpin yang merupakan imam-imam dan pemuka-pemuka Islam. Mereka adalah yang memelihara fondasi-fondasi agama dan ajaran-ajarannya. Mereka menjaganya dari penyelewengan dan perubahan isinya, sehingga orang yang mendapat kebaikan dari Allah bersih dari kehinaan dan tidak mengalami perubahan dengan menyusupnya pendapat individu. Mereka mengeluarkan "mata air" yang menjadi tempat minumnya hamba-hamba Allah.

Mereka adalah golongan yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal di dalam khotbahnya yang terkenal dalam penolakannya terhadap golongan Zindiq dan Jahmiyah, "Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan pada setiap zaman pewaris-pewaris para rasul dari ahli ilmu yang menyeru orang yang sesat ke jalan yang lurus, mengajak bersabar atas derita yang menimpanya, menghidupkan orang yang mati dengan kitab Allah, dan memberikan penerangan dengan cahaya Allah kepada orang yang buta. Berapa banyak orang yang telah memerangi iblis dihidupkan, berapa banyak orang yang sesat mendapatkan petunjuk, alangkah baiknya jejak mereka, dan alangkah buruknya jejak orang-orang yang menyimpang dari mereka! Mereka juga menghilangkan penyelewengan orang-orang yang berlebihan terhadap kitab Allah dan pengrusakan orang-orang yang sesat, takwil orang-orang yang bodoh (jahil), yang mengibarkan bendera bidah dan menyebarkan fitnah. Mereka adalah golongan yang menyimpang dari kitab Allah danmenentangnya, bersepakat untuk meninggalkan kitab Allah. Mereka mengatakan tentang Allah dankitabnya tanpa dasar ilmu, berbicara dengan ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, danmemperdayai orang-orang yang bodoh dengan apa yang mereka umpamakan. Maka, kami berlindung kepada Allah dari fitnah dan bencana akibat orang-orang yang menyesatkan tersebut."

Kedua, Ahli Fikih

Kelompok ulama yang kedua adalah ahli fikih (ahli hukum Islam) dan para mufti (pemberi fatwa). Perkataan mereka menjadi tempat kembali manusia dalam menyelesaikan beberapa persoalan, yang mengkhususkan mengambil kesimpulan suatu hukum dan ketentuan yang harus diikuti, serta memperhatikan ketetapan dan kebenaran kaidah-kaidah halal dan haram.

Kedudukan mereka di bumi bagaikan bintang-bintang di langit. Dengan keberadaan mereka, orang-orang yang bimbang dalam kegelapan mendapatkan petunjuk dan kebutuhan manusia kepada mereka lebih besar daripada kebutuhan manusia akan makanan dan minuman, ketaatan kepada mereka lebih wajib daripada ketaatan kepada ibu dan ayah sesuai dengan nas (teks) kitab Allah yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisaa': 59).

Menurut Ibnu Abbas salam salah satu riwayatnya, Jabir bin Abdullah, Hasan al-Bashri, Abul Aliyah, Atha' bin abu Rabah, Dlahak, dan Mujahid dalam salah satu riwayatnya, "ulil amri" adalah para ulama. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya. Abu Hurairah dan Ibnu Abbas dalam riwayat lain, Zaid bin Aslam, As-Sadi, dan Muqatil, serta riwayat lain dari Ahmad mengatakan bahwa "ulil amri" adalah para penguasa (al-umaraa).

Ketaatan kepada Penguasa Mengikuti Ketaatan kepada Ulama

Para penguasa hanya dapat ditaati apabila mereka memerintah berdasarkan tuntutan ilmu (pengetahuan), sehingga ketaatan kepada mereka mengikuti ketaatan kepada para ulama, karena ketaatan tersebut hanya pada kebaikan dan apa-apa yang diwajibkan berdasarkan pengetahuan. Demikian pula halnya bahwa ketaatan kepada ulama mengikuti ketaatan kepada Rasulullaha saw., maka ketaatan kepada para penguasa mengikuti ketaatan kepada para ulama, dan juga karena tegaknya Islam terletak pada dua kelompok ini, yakni para penguasa dan para ulama.

Semua manusia mengikuti mereka dan kebaikan alam semesta terletak pada kebaikan kedua kelompok tersebut, dan kerusakannya terletak pula pada kerusakan keduanya, seperti dikatakan oleh Abdullah bin al-Mubarak dan lain-lain dari golongan salaf, "Ada dua kelompok manusia, apa bila keduanya baik, manusia akan menjadi baik, dan apabila keduanya rusak, manusia pun akan menjadi rusak, keduanya adalah para penguasa (raja) dan para ulama." Abdullah bin al-Mubarak juga bersenandung:

Aku melihat dosa-dosa mematikan hati
dan kehancurannya telah mewariskan kehinaan
Meninggalkan dosa adalah hidupnya hati
berpaling dari dosa adalah lebih baik bagimu
Tidakkah agama rusak, kecuali oleh para penguasa (raja)
dan penyebar keburukan adalah para ahli agama!

Jadi, alangkah buruknya jika para pemimpin kaum muslimin itu adalah orng-orang yang buruk dan ulama-ulama yang ada adalah ulama-ulama yang jelek.

sumber: Diadaptasi dari I'lam al-Muwaqqi'in 'ar-Rabb al-Alamin, Syekh Ibnu Qayyim al-Jauziyah

Al-Islam, Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia