Tak kenal maka tak sayang! Itulah sebuah ungkapan yang telah
populer di kehidupan kita. Bahkan, ungkapan itu memang berlaku umum, yaitu sejak
seseorang mulai mengenal lingkungan hidupnya. Dalam konteks hubungan antara
laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, istilah "tak kenal maka tak sayang"
adalah awal dari terjalinnya hubungan saling mencintai. Apa lagi, di zaman
sekarang ini hubungan seperti itu sudah umum terjadi di masyarakat. Yaitu, suatu
hubungan yang tidak hanya sekadar kenal, tetapi sudah berhubungan erat dan
saling menyayangi. Hubungan seperti ini oleh masyarakat dikenal dengan istilah
"pacaran".
Istilah pacaran berasal dari kata dasar pacar yang dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai teman lawan jenis yang tetap dan
mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Istilah pacaran dalam bahasa Arab
disebut tahabbub. Pacaran berarti bercintaan; berkasih-kasihan, yaitu dari
sebuah pasangan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.
Para ulama
telah banyak membicarakan masalah ini, seperti misalnya yang terdapat dalam
Fatwa Lajnah Daimah, sebuah kumpulan fatwa dari beberapa ulama. Sebelum sampai
pada simpulan hukum pacaran, terlebih dahulu ditelusuri berbagai kemungkinan
yang terjadi ketika sebuah pasangan muda-mudi yang bukan mahram menjalin
hubungan secara intim. Dengan penelusuran seperti ini, suatu tindakan tertentu
yang berkaitan dengan hubungan muda-mudi ini dapat dinilai dari sudut pandang
syar'i. Dengan demikian, kita akan dengan mudah mengetahui suatu "hubungan" yang
masih dapat ditoleransi oleh syariat dan yang tidak.
Apa yang terjadi
dari sebuah hubungan antara seseorang dengan orang lain secara garis besar dapat
dikelompokkan menjadi lima: perkenalan, hubungan sahabat, jatuh cinta, hubungan
intim, dan hubungan suami istri.
Perkenalan
Islam tidak
melarang seseorang untuk menganal orang lain, termasuk lawan jenis yang bukan
mahram. Bahkan, Islam menganjurkan kepada kita untuk bersatu, berjamaah. Karena,
kekuatan Islam itu adalah di antaranya kejamaahan, bahkan Allah menciptakan
manusia menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku itu untuk saling mengenal.
Allah SWT berfirman yang artinya, "Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal."
(Al-Hujuraat: 13).
Hubungan Sahabat
Hubungan sahabat
adalah hubungan sebagai kelanjutan dari sebuah hubungan yang saling mengenal.
Setelah saling mengenal, seseorang berhubungan dengan orang lain bisa meningkat
menjadi teman biasa atau teman dekat (sahabat). Hubungan sahabat dimulai dari
saling mengenal. Hubungan saling mengenal ini jika berlangsung lama akan
menciptakan sebuah hubungan yang tidak hanya saling mengenal, tetapi sudah ada
rasa solidaritas yang lebih tinggi untuk saling menghormati dan bahkan saling
bekerja sama. Contoh yang mungkin dapat diambil dalam hal ini adalah seperti
hubungan antara Zainudin MZ dengan Lutfiah Sungkar, Neno Warisman dengan Hari
Mukti, dan lain-lain. Mereka adalah pasangan lawan-lawan jenis yang saling
mengenal, juga dalam diri mereka terjalin hubungan yang saling menghormati,
bahkan mungkin bisa bekerja sama. Dalam Islam, hubungan semacam ini tidaklah
dilarang.
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya."
(Al-Maidah: 2).
Jatuh Cinta
Islam juga tidak melarang
seseorang mencintai sesuatu, tetapi untuk tingkatan ini harus ada batasnya. Jika
rasa cinta ini membawa seseorang kepada perbuatan yang melanggar syariat,
berarti sudah terjerumus ke dalam larangan. Rasa cinta tadi bukan lagi
dibolehkan, tetapi sudah dilarang. Perasaan cinta itu timbul karena memang dari
segi zatnya atau bentuknya secara manusiawi wajar untuk dicintai. Perasaan ini
adalah perasaan normal, dan setiap manusia yang normal memiliki perasaan ini.
Jika memandang sesuatu yang indah, kita akan mengatakan bahwa itu memang indah.
Imam Ibnu al-Jauzi berkata, "Untuk pemilihan hukum dalam bab ini, kita harus
katakan bahwa sesungguhnya kecintaan, kasih sayang, dan ketertarikan terhadap
sesuatu yang indah dan memiliki kecocokan tidaklah merupakan hal yang tercela.
Terhadap cinta yang seperti ini orang tidak akan membuangnya, kecuali orang yang
berkepribadian kolot. Sedangkan cinta yang melewati batas ketertarikan dan
kecintaan, maka ia akan menguasai akal dan membelokkan pemiliknya kepada perkara
yang tidak sesuai dengan hikmah yang sesungguhnya, hal seperti inilah yang
tercela."
Begitu juga ketika melihat wanita yang bukan mahram, jika ia
wanita yang cantik dan memang indah ketika secara tidak sengaja terlihat oleh
seseorang, dalam hati orang tersebut kemungkinan besar akan terbesit penilaian
suatu keindahan, kecantikan terhadap wanita itu. Rasa itulah yang disebut rasa
cinta, atau mencintai. Tetapi, rasa mencintai atau jatuh cinta di sini tidak
berarti harus diikuti rasa memiliki. Rasa cinta di sini adalah suatu rasa
spontanitas naluri alamiah yang muncul dari seorang manusia yang memang
merupakan anugerah Tuhan. Seorang laki-laki berkata kepada Umar bin Khattab
r.a., "Wahai Amirul Mukminin, aku telah melihat seorang gadis, kemudian aku
jatuh cinta kepadanya." Umar berkata, "Itu adalah termasuk sesuatu yang tidak
dapat dikendalikan." (R Ibnu Hazm). Dalam kitab Mauqiful Islam minal Hubb,
Muhammad Ibrahim Mubarak menyimpulkan apa yang disebut cinta, "Cinta adalah
perasaan di luar kehendak dengan daya tarik yang kuat pada seseorang."
Sampai batas ini, syariat Islam masih memberikan toleransi, asalkan dari
pandangan mata pertama yang menimbulkan penilaian indah itu tidak berlanjut
kepada pandangan mata kedua. Karena, jika raca cinta ini kemudian berlanjut
menjadi tidak terkendali, yaitu ingin memandang untuk yang kedua kali, hal ini
sudah masuk ke wilayah larangan.
Allah SWT berfirman yang artinya,
"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan
pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci
bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.'
Katakanlah kepada wanita yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangan
mereka, dan memelihara kemaluan mereka …." (An-Nuur: 30--31). Menundukkan
pandangan yaitu menjaga pandangan, tidak dilepas begitu saja tanpa kendali
sehingga dapat menelan merasakan kelezatan atas birahinya kepada lawan jenisnya
yang beraksi. Pandangan yang terpelihara adalah apabila secara tidak sengaja
melihat lawan jenis kemudian menahan untuk tidak berusaha melihat lagi kemudian.
Dari Jarir bin Abdullah, ia berkata, "Saya bertanya kepada Rasulullah
saw tentang melihat dengan mendadak. Maka jawab Nabi, 'Palingkanlah pandanganmu
itu'!" (HR Muslim, Abu Daud, Ahmad, dan Tirmizi).
Rasulullah saw.
berpesan kepada Ali r.a. yang artinya, "Hai Ali, Jangan sampai pandangan yang
satu mengikuti pandangan lainnya! Kamu hanya boleh pada pandangan pertama,
adapun berikutnya tidak boleh." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi).
Ibnul
Jauzi di dalam Dzamm ul Hawa menyebutkan bahwa dari Abu al-Hasan al-Wa'ifdz, dia
berkata, "Ketika Abu Nashr Habib al-Najjar al-Wa'idz wafat di kota Basrah, dia
dimimpikan berwajah bundar seperti bulan di malam purnama. Akan tetapi, ada satu
noktah hitam yang ada wajahnya. Maka orang yang melihat noda hitam itu pun
bertanya kepadanya, 'Wahai Habib, mengapa aku melihat ada noktah hitam berada di
wajah Anda?' Dia menjawab, 'Pernah pada suatu ketika aku melewati kabilah Bani
Abbas. Di sana aku melihat seorang anak amrad dan aku memperhatikannya. Ketika
aku telah menghadap Tuhanku, Dia berfirman, 'Wahai Habib?' Aku menjawab, 'Aku
memenuhi panggilan-Mu ya Allah.' Allah berfirman, 'Lewatlah Kamu di atas
neraka'. Maka aku melewatinya dan aku ditiup sekali sehingga aku berkata, 'Aduh
(karena sakitnya)'. Maka Dia memanggilku, 'Satu kali tiupan adalah untuk sekali
pandangan. Seandainya kamu berkali-kali memandang, pasti Aku akan menambah
tiupan (api neraka)." Hal tersebut sebagai gambaran, bahwa hanya melihat amrad
(anak muda belia yang kelihatan tampan) saja akan mengalami kesulitan yang
sangat dalam di akhirat kelak.
Hubungan Intim
Jika rasa
jatuh cinta ini berlanjut, yaitu menimbulkan langkah baru dan secara kebetulan
pihak lawan jenis merespon dan menerima hubungan ini, terjadilah hubungan yang
lebih jauh dan lebih tinggi levelnya, yaitu hubungan intim. Hubungan ini sudah
tidak menghiraukan lagi rambu-rambu yang ketat, apalagi aturan. Dalam hubungan
ini pasangan muda-mudi sudah bisa merasakan sebagian dari apa yang dialami
pasangan suami istri. Pelaku hubungan pada tingkatan ini sudah lepas kendali.
Perasan libido seksual sudah sangat mendominasi. Dorongan seksual inilah yang
menjadi biang keladi hitam kelamnya hubungan tingkat ini. Bersalaman dan saling
bergandeng tangan agaknya sudah menjadi pemandangan umum di kehidupan masyarakat
kita, bahkan saling berciuman sudah menjadi tren pergaulan intim muda-mudi zaman
sekarang. Inilah hubungan muda-mudi yang sekarang ini kita kenal dengan istilah
"pacaran".
Malam minggu adalah malam surga bagi pasangan muda-mudi yang
menjalin hubungan pada tingkatan ini. Mereka telah memiliki istilah yang sudah
terkenal: "apel". Sang kekasih datang ke rumah kekasihnya. Ada kalanya apel
hanya dilaksanakan di rumah saja, ada kalanya berlanjut pergi ke suatu tempat
yang tidak diketahui lingkungan yang dikenalnya. Dengan begitu, mereka bebas
melakukan apa saja atas dasar saling menyukai.
Al-Hakim meriwayatkan,
"Hati-hatilah kamu dari bicara-bicara dengan wanita, sebab tiada seorang
laki-laki yang sendirian dengan wanita yang tidak ada mahramnya melainkan ingin
berzina padanya."
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhir, maka jangan sekali-kali dia berduaan dalam tempat sepi dengan seorang
wanita, sedang dia dengan wanita tersebut tidak memiliki hubungan keluarga
(mahram), karena yang ketiga dari mereka adalah setan." (HR Ahmad).
Ath-Thabarani meriwayatkan, Nabi saw. bersabda yang artinya, "Awaslah
kamu dari bersendirian dengan wanita, demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya,
tiada seorang lelaki yang bersendirian (bersembunyian) dengan wanita malainkan
dimasuki oleh setan antara keduanya. Dan seorang yang berdesakkan dengan babi
yang berlumuran lumpur yang basi lebih baik daripada bersentuhan bahu dengan
bahu wanita yang tidak halal baginya."
Ibnul Jauzi di dalam Dzamm
ul-Hawa menyebutkan bahwa Abu Hurairah r.a. dan Ibn Abbas r.a. keduanya berkata,
Rasulullah saw. berkhotbah, "Barang siapa yang memiliki kesempatan untuk
menggauli seorang wanita atau budak wanita lantas dia melakukannya, maka Allah
akan mengharamkan surga untuknya dan akan memasukkan dia ke dalam neraka.
Barangsiapa yang memandang seorang wanita (yang tidak halal) baginya, maka Allah
akan memenuhi kedua matanya dengan api dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam
neraka. Barangsiapa yang berjabat tangan dengan seorang wanita (yang) haram
(baginya) maka di hari kiamat dia akan datang dalam keadaan di belenggu
tangannya di atas leher, kemudian diperintahkan untuk masuk ke dalam neraka. Dan
barangsiapa yang bersenda gurau dengan seorang wanita, maka dia akan ditahan
selama seribu tahun untuk setiap kata yang diucapkan di dunia. Sedangkan setiap
wanita yang menuruti (kemauan) lelaki (yang) haram (untuknya), sehingga lelaki
itu terus membarengi dirinya, mencium, bergaul, menggoda dan bersetubuh
dengannya, maka wanitu itu juga mendapatkan dosa seperti yang diterima oleh
lelaki tersebut."
Hubungan intim ini akan sampai pada puncaknya jika
terjadi suatu hubungan sebagaimana layaknya yang dilakukan oleh suami istri.
Hubungan Suami-Istri
Agama Islam itu adalah agama yang
tidak menentang fitrah manusia. Islam sangat sempurna di dalam memandang hal
semacam ini. Manusia diciptakan oleh Allah SWT memiliki dorongan sek. Oleh
karena itu, Islam menempatkan syariat pernikahan sebagai salah satu sunah
nabi-Nya.
Hubungan sepasang kekasih mencapai puncak kedekatan setelah
menjalin hubungan suami-istri. Dengan pernikahan, seseorang sesungguhnya telah
dihalalkan untuk berbuat sesukannya terhadap istri/suaminya (dalam hal mencari
kepuasan libido seksualnya: hubungan badan), asalkan saja tidak melanggar
larangan yang telah diundangkan oleh syariat.
Kita tidak menyangkal
bahwa di dalam kenyataan sekarang ini meskipun sepasang kekasih belum
melangsungkan pernikahan, tetapi tidak jarang mereka melakukan hubungan
sebagaimana layaknya hubungan suami-istri. Oleh karena itu, kita sering
mendengar seorang pemudi hamil tanpa diketahui dengan jelas siapa yang
menghamilinya. Bahkan, banyak orang yang melakukan aborsi (pengguguran
kandungan) karena tidak sanggup menahan malu memomong bayi dari hasil perbuatan
zina.
Jika suatu hubungan muda-mudi yang bukan mahram (belum menikah)
sudah seperti hubungan suami istri, sudah tidak diragukan lagi bahwa hubungan
ini sudah mencapai puncak kemaksiatan. Sampai hubungan pada tingkatan ini, yaitu
perzinaan, banyak pihak yang dirugikan dan banyak hal telah hilang, yaitu
ruginya lingkungan tempat mereka tinggal dan hilangnya harga diri dan agama bagi
sepasang kekasih yang melakukan perzinaan. Selain itu, sistem nilai-nilai
keagamaan di masyarakat juga ikut hancur.
Di dalam kitab Ibnu Majah
diriwayatkan bahwa Ibnu Umar r.a. bertutur bahwa dirinya termasuk sepuluh orang
sahabat Muhajirin yang duduk bersama rasulullah saw. Lalu, beliau mengarahkan
wajahnya kepada kami dan bersabda, "Wahai segenap Muhajirin, ada lima hal yang
membuat aku berlindung kepada Allah dan aku berharap kalian tidak
mendapatkannya.
Pertama, tidaklah perbuatan zina tampak pada suatu kaum
sehingga mereka melakukan terang-terangan, melainkan mereka akan tertimpa
bencana wabah dan penyakit yang tidak pernah ditimpakan kepada orang-orang
sebelum mereka.
Kedua, tidaklah suatu kaum mengurangi takaran dan
timbangan, melainkan mereka akan tertimpa paceklik, masalah ekonomi, dan
kedurjanaan penguasa.
Ketiga, tidaklah suatu kaum menolak membayar
zakat, melainkan mereka akan mengalami kemarau panjang. Sekiranya tidak karena
binatang, niscaya mereka tidak akan diberi hujan.
Keempat, tidaklah
suatu kaum melakukan tipuan (ingkar janji), melainkan akan Allah utus kepada
mereka musuh yang akan mengambil sebagian yang mereka miliki. kelima, tidaklah
para imam (pemimpin) mereka meninggalkan (tidak mengamalkan Alquran), melainkan
akan Allah jadikan permusuhan antarmereka." (HR Ibnu Majah dan Hakim).
"Semalam aku melihat dua orang yang datang kepadaku. Lantas mereka
berdua mengajakku keluar. Maka aku berangkat bersama keduanya. Kemudian keduanya
membawaku melihat lubang (dapur) yang sempit atapnya dan luas bagian bawahnya,
menyala api, dan bila meluap apinya naik orang-orang yang di dalamnya sehingga
hampir keluar. Jika api itu padam, mereka kembali ke dasar. Lantas aku berkata,
'Apa ini?' Kedua orang itu berkata, 'Mereka adalah orang-orang yang telah
melakukan zina'." (Isi hadis tersebut kami ringkas redaksinya. Hadis ini
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim).
Atha' al-Khurasaniy berkata,
"Sesungguhnya neraka Jahanam memiliki tujuh buah pintu. Yang paling menakutkan,
paling panas dan paling busuk baunya adalah pintu yang diperuntukkan bagi para
pezina yang melakukan perbuatan tersebut setelah mengetahui hukumnya." (Dzamm
ul-Hawa, Ibnul Jauzi).
Dengan mengetahui dampak negatif yang sangat
besar ini, kita akan menyadari dan meyakini bahwa apa yang disabdakan oleh
Rasulullah saw. itu ternyata memang benar. Apabila seorang pemuda sudah siap
untuk menikah, segerakanlah menikah. Hal ini sangat baik untuk menghindari
terjadinya perbutan maksiat. Tetapi, jika belum mampu untuk menikah, orang
tersebut hendaknya berpuasa. Karena, puasa itu di antaranya dapat menahan hawa
nafsu.
"Wahai segenap pemuda, barang siapa yang mampu memikul beban
keluarga hendaklah menikah. Sesungguhnya pernikahan itu lebih dapat meredam
gejolak mata dan nafsu seksual, tetapi barang siapa belum mampu, hendaklah dia
berpuasa, karena puasa itu benteng (penjagaan) baginya." (HR Bukhari). (Abu
Annisa)
Referensi:
1. Al-Qur'an al-Karim
2. Dzamm ul-Hawa, Ibnul
Jauzi
3. Mauqiful Islam Minal Hubb, Muhammad Ibrahim Mabrouk
4. Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
5. Shahih
Bukhari
6. Shahih Muslim
7. 1100 Hadits Terplih: Sinar Ajaran Muhammad,
Dr. Muhammad Faiz Almath
sumber : Al-Islam, Pusat Informasi dan
Komunikasi Islam Indonesia